ISTIQAMAH DI ZAMAN MODERN
Pertanyaan:
1.
Bagaimana untuk meyakinkan bahwa semua kebaikan dan kejahatan itu
adalah atas kehendak Allah swt..?
2. Bagaimana agar kita tetap istiqomah
dalam bertaqwa pada jaman sekarang ini karena sekarang banyak sekali
godaannya, terutama dengan semakin majunya peradaban jaman..?
Jawaban:
Pernyataan Anda
perlu saya luruskan dengan keterangan sebagai berikut:
Pertama, Allah menurunkan
ajaran yang fithri/alami/natural (karenanya tidak bisa disebut sebagai
beban) demi kebaikan/kebahagiaan manusia;
Kedua, Allah menghendaki agar
ajaran itu dilaksanakan sebaik-baiknya;
Ketiga, namun begitu Allah
menyerahkan pada manusia mau menerima perintah itu atau tidak, manusia
harus berusaha sendiri untuk melaksanakan ajaran tsb.
Jadi tidak bisa
dikatakan bahwa kejahatan (dengan arti kemaksiatan) itu kehendak Allah
swt.Coba Anda renungi ayat berikut:
"Dan katakanlah: 'Kebenaran itu
datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah
ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir'.
Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang
gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya
mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang
menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat
istirahat yang paling jelek. (QS. Al-Kahfi/18:29)
Perlu ditegaskan di
sini adanya perbedaan antara kejahatan dengan arti madharat/balaa', dan
kejahatan dengan arti kemaksiatan. Pada hakekatnya memang satu, tapi
dua.
Jelasnya demikian, pencurian adalah tindakan kejahatan, baik dari
sisi pencuri atau orang yang tercuri.
Tapi bila kita kaitkan dengan
istilah madharat/balaa' dan maksiat, maka akan jelas perbedaannya: si
pencuri melakukan kemaksiatan (pencurian), dan si tercuri terkena
madharat (pencurian).
Dan tindakan mencuri (kemaksiatan) sama sekali
bukan kehendak Allah.
Nah, orang yang tertimpa madharrat atau balaa'
tidak berarti tertimpa kejelekan.
Renungkan hadis Nabi berikut:
Seseorang mengeluh ke Rasulullah: "Wahai Rasul, harta saya hilang dan
badan saya sakit."
Jawab beliau: "Kebaikan (keberuntungan) itu tidak
terdapat pada orang yang hartanya tidak hilang dan badannya tidak sakit.
Karena sesungguhnya, jika Allah memang mencintai seorang hamba Allah
menurunkan cobaan padanya lantas membekalinya kesabaran."
Hadis ini
menyiratkan bahwa kejelekan/keburukan itu bukanlah identik dengan
kenikmatan duniawi. Tapi kebaikan adalah kesabaran itu sendiri.
Sebelum membahas bagaimana tetap Istiqamah dalam bertakwa, perlu Anda
ketahui mengenai apa sebenarnya taqwa itu (mena'ati perintah dan
menjauhi larangan Allah Swt).
Saya hanya ingin menegaskan bahwa taqwa
itu tidak hanya berkaitan dengan hal-hal yang bersifat ibadah murni,
seperti shalat, puasa, zakat, dll.
Tapi taqwa juga meliputi hal-hal yang
sifatnya duniawi, asal itu baik dan bermanfaat.
Kita menekuni apa yang
menjadi hobi dan keahlian kita kendati itu hanya semata bersifat duniawi
namun bermanfaat bagi semua makhluk di bumi ini juga taqwa.
Sebab Allah
melarang tindakan-tindakan yang berakibat pada rusaknya lingkungan, dan
Allah juga menegaskan agar kita jangan sampai melupakan
persoalan-persoalan duniawi yang menopang kemaslahatan hidup kita di
dunia.
Singkatnya, orang Islam itu harus jaya di dunia dan jangan sampai
melupakan akheratnya.
Oleh karena demikian luasnya wilayah taqwa, maka
dengan sendirinya problem istiqamah juga tidak sama.
Jika problem
istiqamah Anda menyangkut hal 'ibadah, misal Anda sesekali berani
melanggar perintah agama, seperti shalat, puasa, dll), Anda perlu
meningkatkan wawasan keakhiratan.
Sebab kebanyakan faktor yang
memnyebabkan terputusnya kontinyuitas/istiqamahnya suatu kegiatan (baik
kegiatan duniawi atau ukhrawi) tiada lain adalah minimnya wawasan.
Setidaknya yang bisa Anda lakukan sendiri adalah menghidupkan kesadaran
akan adanya kehidupan sesudah mati atau kehidupan akherat.
Saya kira
semua orang Islam meyakini adanya kehidupan akherat, hanya saja
kenyataannya tidak sedikit orang-orang yang lupa akan hal itu.
Mereka
terlelap dalam kenikmatan duniawi.
Maka orang seperti ini perlu
disadarkan mengenai kehidupan akherat, di mana orang yang sebagian besar
hidupnya penuh ketaatan akan masuk surga dan bila didominasi
kemaksiatan akan masuk neraka.
Bertanya-tanyalah dalam hati Anda:
Apa
sebenarnya tujuan hidup Anda?
Apa hanya ingin cukup dengan kenikmatan
duniawi?
Dengan semata melimpahnya harta-dunia apakah ketenangan batin
bisa didapat?
Tidakkah batin akan tenang dengan menaati
perintah-perintah agama, berdzikir/mengingat Allah?
Kalau
pertanyaan-pertanyaan (muhaasabah) seperti ini belum mempan juga,
sering-seringlah memikirkan "seandainya besok aku mati".
Dan jika hati
Anda sudah tergerak untuk rajin melakukan ibadah, hanya saja Anda
menghadapi problem lain, misal kurang mengetahui cara-cara ibadah
denganbenar, Anda harus bertanya ke ahlinya.
Dan jika problem istiqamah
itu menyangkut soal keduniaan, maka kita perlu meningkatkan wawasan/ilmu
pengetahuan tentang keduniaan.
Yang bisa Anda lakukan mula-mula adalah
menetapkan program, rencana-rencana, dan target.
Anda juga harus
meningkatkan kedisiplinan, kesungguhan, dan ketulusan.
Bangunlah
kesadaran bahwa diri kita juga harus memberi manfaat pada orang lain.
Sebab sebaik-baiknya manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi
lingkungannya.
Untuk melengkapi tema istiqamah, berikut ini saya
ambilkan tulisan Dr. Nurcholish Madjid yang berjudul "Istiqamah Di Zaman
Modern" dalam bukunya Pintu-Pintu Menuju Tuhan.
ISTIQAMAH DI ZAMAN
MODERN
Istiqamah artinya teguh hati, taat asas, atau konsisten.
Meskipun
tidak semua orang bisa bersikap istiqamah, namun memeluk agama, untuk
memperoleh hikmahnya secara optimal, sangat memerlukan sikap itu.
Allah
menjanjikan demikian: "Dan seandainya mereka itu bersikap istiqamah di
atas jalan kebenaran, maka pastilah Kami siramkan kepada mereka air yang
melimpah." (QS. Al-Jinn/72:16).
Air adalah lambang kehidupan dan
lambang kemakmuran. Maka Allah menjanjikan mereka yang konsisten
mengikuti jalan yang benar akan mendapatkan hidup yang bahagia.
Tentu
saja keperluan kepada sikap istiqamah itu ada pada setiap masa, dan
mungkin lebih-lebih lagi diperlukan di zaman modern ini.
Karena
kemodernan (modernitas, modernity) bercirikan perubahan. Bahkan para
ahli menyebutkan bahwa kemodernan ditandai oleh "perubahan yang
terlembagakan" (institutionalized change).
Artinya, jika pada
zaman-zaman sebelumnya perubahan adalah sesuatu yang "luar biasa" dan
hanya terjadi di dalam kurun waktu yang amat panjang, di zaman modern
perubahan itu merupakan gejala harian, dan sudah menjadi keharusan.
Lihat saja, misalnya, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
terutama teknologi microchip (harfiah: kerupuk kecil) dalam teknologi
elektronika.
Siapa saja yang mencoba bertahan pada suatu bentuk produk,
baik dia itu produsen atau konsumen, pasti akan tergilas dan merugi
sendiri.
Karena itulah maka "Lembah Silikon" atau Silicon Valley di
California selalu diliputi oleh ketegangan akibat kompetisi yang amat
keras.
Adanya kesan bahwa "perubahan yang terlembagakan" itu tidak
memberi tempat istiqamah adalah salah.
Kesalahan itu timbul antara lain
akibat persepsi bahwa istiqamah mengandung makna yang statis.
Memang
istiqamah mengandung arti kemantapan, tetapi tidak berarti kemandekan.
Melainkan lebih dekat kepada arti stabilitas yang dinamis. Dapat
dikiaskan dengan kendaraan bermotor: semakin tinggi teknologi suatu
mobil, semakin mampu dia melaju dengan cepat tanpa guncangan.
Maka
disebut mobil itu memiliki stabilitas atau istiqamah.
Dan mobil disebut
dengan stabil bukanlah pada waktu ia berhenti, tapi justru ketika dia
melaju dengan cepat.
Maka begitu pula dengan hidup di zaman modern ini.
Kita harus bergerak, melaju, namun tetap stabil, tanpa goyah.
Ini bisa
saja terwujud kalau kita menyadari dan meyakini apa tujuan hidup kita,
dan kita dengan setia mengarahkan diri kepadanya, sama dengan mobil yang
stabil terus melaju ke depan, tanpa terseot ke kanan-kiri.
Lebih-lebih
lagi, yang sebenarnya mengalami "perubahan yang terlembagakan" dalam
zaman modern ini hanyalah bidang-bidang yang bersangkutan dengan "cara"
hidup saja, bukan esensi hidup itu sendiri dan tujuannya.
Ibarat
perjalanan Jakarta-Surabaya, yang mengalami perubahan hanyalah alat
transportasinya, mulai dari jalan kaki, sampai naik pesawat terbang.
Tujuannya sendiri tidak terpengaruh oleh "cara" menempuh perjalanan itu
sendiri.
Maka ibarat mobil yang stabil yang mampu melaju dengan cepat,
begitu pula orang yang mencapai istiqamah tidak akan goyah, apalagi
takut, oleh lajunya perubahan.
Dia hidup dinamis, berjalan di atas
kebenaran demi kebenaran, untuk sampai akhirnya kembali kepada Tuhan,
sang Kebenaran Mutlak dan Abadi.
Dan kesadaran akan hidup menuju Tuhan
itulah yang akan memberi kebahagiaan sejati sesuai janji Tuhan di atas.
Semoga bermanfaat. Wassalaam.
Dikutip dari : Azzam Assadulloh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih.