Sabtu, 19 Januari 2013
RENUNGAN UNTUK LELAKI DAN WAJIB DIBACA...!!
DI AKHIRAT NANTI ADA 4 GOLONGAN LELAKI YANG AKAN DITARIK MASUK KE NERAKA OLEH WANITA. Lelaki itu adalah mereka yang tidak memberikan hak kepada wanita dan tidak menjaga amanah itu.
1. Ayahnya
Jika seseorang yang bergelar ayah tidak mempedulikan anak perempuannya di dunia. Dia tidak memberikan segala keperluan agama seperti mengajarkan shalat, mengaji, dan sebagainya. Dia membiarkan anak perempuannya tidak menutup aurat. Tidak cukup kalau dangan hanya memberi kemewahan dunia saja. Maka dia akan ditarik ke neraka oleh anaknya.
Duhai lelaki yg bergelar Ayah, bagaimanakah keadaan anak perempuanmu sekarang? Apakah kau mengajar shalat dan shaum (puasa) padanya? Menutup aurat? Pengetahuan agama? Jika tidak terpenuhi, maka bersedialah untuk menjadi bagian dari Neraka.
2. Suaminya
Apabila suami tidak mempedulikan tindak tanduk isterinya. Bergaul bebas. Membiarkan istri berhias diri untuk lelaki yang bukan mahramnya.
Jika suami mendiam istri yang seperti itu walaupun suami adalah orang yang alim, suami adalah shalatnya yang tidak pernah bolong, suami adalah yang shaumnya tidak pernah lalai. Maka dia akan turut ditarik oleh isterinya bersama-sama ke dalam Neraka.
Duhai lelaki yang bergelar Suami, bagaimanakah keadaan istri tercinta sekarang? Dimanakah dia? Bagaimana akhlaknya? Jika tidak kau jaga mengikuti ketetapan Islam, maka terimalah keniscayaan yang kau akan sehidup semati bersamanya hingga Neraka.
3. Saudara Lelakinya
Apabila ayahnya sudah tiada, tanggungjawab menjaga kehormatan wanita jatuh pada saudara lelakinya (kakak, paman). Jika mereka hanya mementingkan keluarganya saja dan adik atau keponakannya dibiarkan dari ajaran Islam, maka tunggulah tarikan mereka di akhirat kelak.
Duhai lelaki yg mempunyai saudara perempuan, jangan hanya menjaga amalmu dan melupakan amanah yang lain. Karena kau juga akan pertanggungjawabkan diakhirat kelak.
4. Anak Lelakinya
Apabila seorang anak laki-laki tidak menasehati Ibunya perihal kelakuan yang tidak dibenarkan dalam Islam. Bila ibu membuat kemungkaran, mengumpat, memfitnah, mengunjing, maka anak itu akan ditanya dan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Dan bersama menemani ibunya di Neraka.
Duhai anak lelaki, sayangilah ibumu, nasihatilah dia jika bersalah atau lalai. Karena ibu juga insan biasa, tak lepas dari melakukan dosa. Selamatkanlah dia dari ancaman neraka, jika tidak, kau juga akan ditarik menjadi teman di dalamnya.
* * *
Betapa hebatnya tarikan wanita. Bukan saja di dunia, tapi juga di akhirat yang tak kalah hebat tarikannya. Maka, kaum lelaki yang bergelar ayah, suami, saudara atau anak harus memainkan peran mereka dengan baik.
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan."
(Surat At Tahrim : 6)
* * *
http://jamz725Art.blogspot.com
Jumat, 18 Januari 2013
Bolehkah Utang Bank Untuk Menikah?
Posted: 11 Jan 2013 03:00 PM PST
Utang Bank Untuk Menikah
Pertanyaan:
Assalmu’alaikum.
Maaf Pak Ustadz, saya mau bertanya seputar pernikahan. Bagaimana hukum orang yang meminjam uang ke Bank untuk keperluan nikah? Terima Kasih atas segala perhatian dan jawabannya.
Jazakallahu khairan.
Dari: Apip
Jawaban:
Jawaban:
Wa’alaikumussalam
Alhamdulillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, wa ba’du,
Menikah
memang sangat dianjurkan, bahkan bisa jadi wajib bagi orang yang
dikhawatirkan berzina. Namun bukan berarti ini harus dilakukan dengan
melegalkan segala macam cara. Berusaha menempuh jalan yang diridhai
Allah, merupakan cara paling tepat untuk mendapatkan keberkahan dalam
pernikahan.
Seperti yang kita ketahui,
meminjam bank tidak akan lepas dari riba. Seberapapun pinjaman Anda dari
bank, tidak akan lepas dari persyaratan riba. Kenyataan ini menunjukkan
bahwa orang yang berutang di bank berarti sedang melakukan transaksi
riba dengan bank. Meskipun dalam hal ini, dia hanya sebagai nasabah,
sementara bank yang memakan ribanya. Karena keberadaan nasabah yang
meminjam uang di bank, menjadi bagi bank untuk makan riba. Untuk alasan
inilah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat manusia yang meminjam uang dengan persyaratan riba.
Berikut beberapa dalilnya,
Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا، وَمُوكِلَهُ، وَشَاهِدَيْهِ، وَكَاتِبَهُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melaknat orang yang makan riba, pemberi makan riba, dua saksi transaksi
riba, dan orang mencatat transaksinya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan
disahihkan al-Albani)
Dalam riwayat yang lain, dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَةً: آكِلَ الرِّبَا، وَمُوكِلَهُ، وَكَاتِبَهُ، وَشَاهِدَيْهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melaknat 10 orang: pemakan riba, pemberi makan riba, dua saksi
transaksi riba, dan orang mencatat transaksinya.” (HR. Ahmad 635).
Dalam riwayat Baihaqi terdapat tambahan:
وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan: “Mereka semua sama.” (Baihaqi dalam ash-Shugra, 1871).
Siapakah pemberi makan riba?
Dalam Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abu Daud dinyatakan:
وَموكِلَهُ أَيْ مُعْطِيَهُ لِمَنْ يَأْخُذُهُ
“Pemberi makan” maksudnya yang memberikan riba kepada orang yang mengambilnya. (Aunul Ma’bud, 9:130)
Anda bisa bayangkan, posisi
nasabah yang meminjam uan di bank mengalami kerugian dua kali. Rugi
memberikan uang riba ke bank dan rugi dengan ancaman laknat karena
melanggar hadis di atas.
Solusi
Ada beberapa alternatif solusi, agar Anda tetap bisa menikah tanpa harus menyentuh bank:
Pertama, menabung dengan menunda nikah
Jika masih memungkinkan bagi Anda
untuk menunda nikah, terlebih jika Anda belum memiliki calon istri,
kami sarankan agar Anda menabung sampai Anda memiliki dana yang cukup
untuk menikah. Dalam kesempatan yang sama, agar kondisi syahwat tidak
muncul berlebihan, Anda aktifkan puasa sunah. Solusi ini yang disarankan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang belum mampu menikah. Beliau bersabda,
يَا
مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ،
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda, siapa
yang mampu menanggung nafkah maka hendaknya dia menikah. Siapa yang
belum mampu maka dia harus puasa, karena puasa itu menjadi penurun
syahwat baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kedua, sederhanakan walimah
Inti walimah adalah makan-makan,
untuk menunjukkan kegembiraan Anda sebagai pengantin baru dan sekaligus
pengumuman nikah bagi masyarakat. Untuk hanya tujuan ini, sejatinya
tidak membutuhkan banyak biaya.
Namun sayangnya, tradisi
masyarakat kita menjadikan walimah sebagai lambang kebanggaan keluarga.
Mereka menganggap walimah mewah melambangkan keistimewaan sebuah
keluarga. Wajar saja jika tradisi walimah di tempat kita tidak lepas
dari sikap mubadzir dan melampaui batas, yang jelas-jelas itu adalah
sikap masyarakat jahiliyah. Mereka rela untuk utang demi menampakkan
kemewahan dan mendapatkan pujian.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ
“Janganlah kamu berbuat tabdzir
(mubadzir). Sesungguhnya orang-orang yang suka berbuat tabdzir adalah
saudara-saudara syaitan..” (QS. Al Isra’ 26 – 27).
Ulama berbeda pendapat tentang makna tabdzir (mubadzir).
Az-Zajjaj mengatakan:
“Tabdzir adalah membelanjakan
harta untuk selain ketaatan kepada Allah. Orang jahiliyah menyembelih
onta, menghabiskan uangnya karena kesombongan dan cari pujian, kemudian
Allah perintahkan untuk membelanjakan harta semata-mata karena mencari
wajah Allah dalam hal-hal yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah.”
Hal lain yang perlu direnungkan dalam ayat ini adalah pernyataan “…orang-orang yang suka berbuat tabdzir adalah saudara-saudara setan.”
Pernyataan ini menunjukkan celaan yang sangat keras kepada orang yang
suka berbuat mubadzir. Keadaannya disamakan dengan setan yang kufur
terhadap nikmat, karena menggunakan nikmat tersebut tidak untuk ketaatan
kepada Allah.
Untuk itulah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut hidangan walimah, sebagai hidangan yang buruk. Beliau bersabda:
شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُدْعَى لَهَا الأَغْنِيَاءُ ، وَيُتْرَكُ الْفُقَرَاءُ
“Makanan
yang paling buruk adalah makanan walimah (karena) hanya mengundang
orang kaya dan meninggalkan (tidak mengundang) orang miskin.” (HR. Bukhari 5177)
Ketiga, terpaksa utang
Jika Anda terpaksa harus utang
agar bisa menikah, Anda harus tetap menghindari bank. Sebagai gantinya,
Anda bisa berutang ke selain bank atau lembaga riba lainnya. Misalnya
berutang ke kerabat yang memiliki kelebihan harta. Perbuatan semacam ini
termasuk bentuk ta’awun (tolong menolong) dalam kebaikan dan taqwa.
Semoga Allah memudahkan langkah kita untuk istiqamah di atas kebenaran. Amin.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina www.KonsultasiSyariah.com)
Bolehkah Meminjam Uang Bank Karena Kepepet?
Posted: 17 Jan 2013 02:28 PM PST
Meminjam Uang Bank Karena Kepepet
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum.
Kita semua tahu, bahwa pinjaman uang di bank itu riba.
Bagaiman solusi bagi orang yang membutuhkan uang? Karena saat ini,
hanya bank, yang berani meminjamkan uang dalam jumlah kecil maupun
besar.
Terima kasih.
Wassalam
Wassalam
Dari: Dandy
Jawaban:
Wa’alaikumussalam
Alhamdulillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, wa ba’du,
Prinsip pokok yang wajib kita
tanamkan bersama, bertransaksi dengan bank dalam bentuk meminjam uang
untuk kebutuhan apapun, termasuk praktik riba. Karena bank tidak mungkin
mengucurkan dana selain CSR, tanpa embel-embel riba. Dengan demikian,
bank sejatinya bukan solusi bagi masalah keuangan masyarakat. Justru
bank adalah penyakit bagi masyarakat. Apapun nama dan labelnya. Baik
konvensional maupun syariah – sebagaimana pengakuan mereka yang pernah
terjun di bank syariah –.
Bank merupakan agen riba di
masyarakat. Mereka jaya di atas penderitaan banyak orang. Berita tentang
orang yang bunuh diri karena terlilit utang bank, dipukuli debt
collector, rumah disita sehingga anak istri telantar, dst. Peristiwa
semacam ini bukan hal yang asing di tempat kita. Para pegawai bank
duduk manis di ruang ber-AC dengan gaji besar, hanya dengan
memperhatikan perhitungan angka di komputer, nyawa nasabah bisa menjadi
taruhannya.
Lebih dari itu, pinjam dana dari
bank, sejatinya kita telah melanggar ancaman laknat karena transaksi
riba. Satu hadis yang sangat sering kita dengar, dari Ali bin Abi Thalib
radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَةً: آكِلَ الرِّبَا، وَمُوكِلَهُ، وَكَاتِبَهُ، وَشَاهِدَيْهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melaknat 10 orang: pemakan riba, pemberi makan riba, dua saksi
transaksi riba, dan orang mencatat transaksinya.” (HR. Ahmad 635).
Dalam riwayat Baihaqi terdapat tambahan:
وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan: “Mereka semua sama.” (Baihaqi dalam As-Shugra, 1871).
Pemberi makan riba pada hadis ini
adalah para nasabah yang meminjang uang di bank, yang mempersyaratkan
adanya riba, sebagaimana keterangan di Aunul Ma’bud.
Pendek kata, bagi orang yang sedang memiliki masalah keuangan, meminjam di bank sama dengan menciptakan masalah baru baginya.
Lalu bagaimana dengan orang yang butuh banyak uang? Bukankah pinjaman bank akan sangat membantu?
Pertanyaan inilah yang mungkin
menjadi alasan terbesar bagi kebanyakan orang untuk tetap gandrung
dengan pinjaman bank. Namun sebenarnya, pertanyaan ini masih terlalu
global, sehingga perlu kita rinci untuk bisa memberikan jawaban yang
berbeda. Rincian itu sebenarnya merupakan turunan dari pertanyaan di
atas:
Apa latar belakang dia butuh banyak uang?
Dan untuk tujuan apa dia butuh banyak uang?
Konsekuensi bahwa Islam adalah
agama sempurna, kita bisa mendapatkan jawaban yang benar untuk semua
masalah. Tak terkecuali masalah keuangan. Untuk menjawab pertanyaan di
atas, ada beberapa catatan yang bisa kita jadikan pengantar:
Pertama, kita
yakin hampir semua orang butuh harta, karena dia butuh untuk hidup. Di
lain pihak, tidak semua orang bisa mencari sendiri harta yang menjadi
kebutuhan pokok hidupnya. Dalam Islam, manusia yang tidak bisa mencari
kebutuhan hidup sendiri dikelompokkan menjadi dua:
a. Orang yang menjadi tanggungan
keluarganya yang lain, seperti anak menjadi tanggungan orang tua, atau
orang tua yang tidak mampu mencari nafkah menjadi tanggungan anak
lelaki, atau saudara yang tidak mampu bekerja karena cacat fisik atau
mental, menjadi tanggungan saudaranya yang lain, dst.
b. Orang yang menjadi tanggungan
kaum muslimin secara bersama atau negara, karena mereka tidak lagi
menjadi tanggungan anggota keluarganya yang lain. Merekalah orang fakir,
miskin, ibnu sabil, budak mukatab, jatuh pailit karena utang, dst.
Untuk menutupi kebutuhan pokok hidupnya, mereka berhak mendapatkan harta
zakat.
Melihat peta masyarakat muslim
yang demikian, sejatinya dalam Islam tidak ada istilah manusia terlantar
karena masalah harta. Karena yang mampu wajib membayar zakat dan yang
kurang mampu, berhak menerima zakat. Sehingga kebutuhan pokok setiap
muslim pasti akan terjamin.
Kedua, dalam
Islam ada manusia yang diizinkan untuk meminta-minta. Sehingga andaipun
dia tidak tercover dengan harta zakat, dia masih bisa mendapatkan harta
dari sumber yang lain untuk menutupi kebutuhan pokoknya. Diantara
kondisi tersebut adalah:
a. Ketika seseorang menanggung beban diyat
(denda) atau pelunasan hutang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai
dia mampu melunasinya. Setelah lunas, dia wajib untuk meninggalkan
mengemis.
b. Ketika seseorang ditimpa
musibah yang menghabiskan seluruh hartanya, ia boleh meminta-minta
sampai ia mendapatkan sandaran hidup.
c. Ketika seseorang tertimpa kefakiran yang sangat berat, sehingga
disaksikan oleh 3 orang berakal, pemuka masyarakatnya bahwa dia
tertimpa kefakiran, maka halal baginya meminta-minta sampai dia
mendapatkan kecukupan bagi kehidupannya.
Pada tiga kondisi ini, seseorang
diperbolehkan untuk meminta-minta sumbangan. Dalil kesimpulan ini adalah
hadis dari Sahabat Qabishah bin Mukhariq radhiyallahu ‘anhu, bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Wahai
Qabishah! Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal, kecuali bagi
salah satu dari tiga orang: Seseorang yang menanggung beban (hutang
orang lain, diyat/denda), ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya,
kemudian berhenti. Dan seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan
hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup.
Dan seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang
yang berakal dari kaumnya mengatakan, ‘Si fulan telah ditimpa
kesengsaraan hidup,’ ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran
hidup. Meminta-minta selain untuk ketiga hal itu, wahai Qabishah! adalah
haram, dan orang yang memakannya adalah memakan yang haram.” (HR Muslim no.1044, Abu Dawud no.1640, dll)
Ada satu lagi yang boleh
meminta-minta, yaitu ketika seseorang meminta sumbangan untuk
kepentingan kaum muslimin, bukan kepentingan pribadinya. Seperti untuk
tujuan dakwah, pembangunan sarana keagamaan, dll. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memotivasi para sahabat untuk berinfak dalam rangka jihad atau kepentingan sosial lainnya.
Melihat klasifikasi di atas, kita
akan kesulitan mencari alasan lain untuk membolehkan seseorang pinjam
uang dari bank. Selain untuk tujuan yang bukan bagian dari kebutuhan
utama hidupnya, semacam modal usaha. Jika karena latar belakang modal
usaha, meminjam modal dari bank, hakikatnya adalah mengawali usaha
dengan transaksi riba. Bisa jadi itu akan menghilangkan keberkahan
usahanya. Sebagai solusi, dia bisa membuka investor untuk turut
menanamkan modal pada sektor usaha yang dijalani.
Kesimpulannya, tidak ada alasan
darurat untuk mencari pinjaman di bank. Karena dalam kondisi darurat,
kaum muslimin bisa terbantukan dengan adanya zakat dan sedekah. Untuk
urusan usaha dan bisnis, masih ada seribu alternatif yang halal, tanpa
harus melibatkan riba.
Allahu a’lam
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina www.KonsultasiSyariah.com)
Membaca AlQuran Meskipun Tidak Mengerti Satupun Artinya
Membaca AlQuran Meskipun Tidak Mengerti Satupun Artinya
Seorang muslim tua Amerika tinggal di sebuah perkebunan/area di sebelah
timur Pegunungan Kentucky bersama cucu laki-lakinya. Setiap pagi Sang
kakek bangun pagi dan duduk dekat perapian membaca Al-qur’an. Sang cucu
ingin menjadi seperti kakeknya dan memcoba menirunya seperti yang
disaksikannya setiap hari.
Suatu hari ia bertanya pada kakeknya
: “ Kakek, aku coba membaca Al-Qur’an sepertimu tapi aku tak bisa
memahaminya, dan walaupun ada sedikit yang aku pahami segera aku lupa
begitu aku selesai membaca dan menutupnya. Jadi apa gunanya membaca
Al-quran jika tak memahami artinya ?
Sang kakek dengan tenang sambil meletakkan batu-batu di perapian,
memjawab pertanyaan sang cucu : “Cobalah ambil sebuah keranjang batu ini
dan bawa ke sungai, dan bawakan aku kembali dengan sekeranjang air.”
Anak itu mengerjakan seperti yang diperintahkan kakeknya, tetapi semua
air yang dibawa habis sebelum dia sampai di rumah. Kakeknya tertawa dan
berkata, “Kamu harus berusaha lebih cepat lain kali “.
Kakek
itu meminta cucunya untuk kembali ke sungai bersama keranjangnya untuk
mencoba lagi. Kali ini anak itu berlari lebih cepat, tapi lagi-lagi
keranjangnya kosong sebelum sampai di rumah.
Dengan
terengah-engah dia mengatakan kepada kakeknya, tidak mungkin membawa
sekeranjang air dan dia pergi untuk mencari sebuah ember untuk mengganti
keranjangnya.
Kakeknya mengatakan : ”Aku tidak ingin seember
air, aku ingin sekeranjang air. Kamu harus mencoba lagi lebih keras. ”
dan dia pergi ke luar untuk menyaksikan cucunya mencoba lagi. Pada saat
itu, anak itu tahu bahwa hal ini tidak mungkin, tapi dia ingin
menunjukkan kepada kakeknya bahwa meskipun dia berlari secepat mungkin,
air tetap akan habis sebelum sampai di rumah. Anak itu kembali mengambil
/ mencelupkan keranjangnya ke sungai dan kemudian berusaha berlari
secepat mungkin, tapi ketika sampai di depan kakeknya, keranjang itu
kosong lagi. Dengan terengah-engah, ia berkata : ”Kakek, ini tidak ada
gunanya. Sia-sia saja”.
Sang kakek menjawab : ”Nak, mengapa kamu berpikir ini tak ada gunanya?. Coba lihat dan perhatikan baik-baik keranjang itu .”
Anak itu memperhatikan keranjangnya dan baru ia menyadari bahwa
keranjangnya nampak sangat berbeda. Keranjang itu telah berubah dari
sebuah keranjang batu yang kotor, dan sekarang menjadi sebuah keranjang
yang bersih, luar dan dalam.
” Cucuku, apa yang terjadi ketika
kamu membaca Qur’an ? Boleh jadi kamu tidak mengerti ataupun tak
memahami sama sekali, tapi ketika kamu membacanya, tanpa kamu menyadari
kamu akan berubah, luar dan dalam"
Doa ketika Banjir
Posted: 17 Jan 2013 03:02 AM PST
Doa menghadapi Musibah Banjir
Assalamualaikum.
Ustadz, apakah ada doa menghadapi musibah banjir?
Ustadz, apakah ada doa menghadapi musibah banjir?
Dari: Roy
Wa alaikumus salam
Wa alaikumus salam
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah,
Ada satu hadis yang mungkin bisa menjawab pertanyaan anda;
Dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan, bahwa pernah terjadi musim kering selama setahun di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. sampai akhirnya datang suatu hari jumat, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat jumatan. Anas mengatakan,
أَنَّ
رَجُلًا دَخَلَ يَوْمَ الجُمُعَةِ مِنْ بَابٍ كَانَ وِجَاهَ المِنْبَرِ،
وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمٌ يَخْطُبُ،
فَاسْتَقْبَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمًا،
فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ: هَلَكَتِ المَوَاشِي، وَانْقَطَعَتِ
السُّبُلُ، فَادْعُ اللَّهَ يُغِيثُنَا، قَالَ: فَرَفَعَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَيْهِ، فَقَالَ: «اللَّهُمَّ اسْقِنَا،
اللَّهُمَّ اسْقِنَا، اللَّهُمَّ اسْقِنَا» قَالَ أَنَسُ: وَلاَ وَاللَّهِ
مَا نَرَى فِي السَّمَاءِ مِنْ سَحَابٍ، وَلاَ قَزَعَةً وَلاَ شَيْئًا
وَمَا بَيْنَنَا وَبَيْنَ سَلْعٍ مِنْ بَيْتٍ، وَلاَ دَارٍ قَالَ:
فَطَلَعَتْ مِنْ وَرَائِهِ سَحَابَةٌ مِثْلُ التُّرْسِ، فَلَمَّا
تَوَسَّطَتِ السَّمَاءَ، انْتَشَرَتْ ثُمَّ أَمْطَرَتْ، قَالَ: وَاللَّهِ
مَا رَأَيْنَا الشَّمْسَ سِتًّا، ثُمَّ دَخَلَ رَجُلٌ مِنْ ذَلِكَ البَابِ
فِي الجُمُعَةِ المُقْبِلَةِ، وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَائِمٌ يَخْطُبُ، فَاسْتَقْبَلَهُ قَائِمًا، فَقَالَ: يَا
رَسُولَ اللَّهِ: هَلَكَتِ الأَمْوَالُ وَانْقَطَعَتِ السُّبُلُ، فَادْعُ
اللَّهَ يُمْسِكْهَا، قَالَ: فَرَفَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَيْهِ، ثُمَّ قَالَ: «اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا،
وَلاَ عَلَيْنَا، اللَّهُمَّ عَلَى الآكَامِ وَالجِبَالِ وَالظِّرَابِ
وَالأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ» قَالَ: فَانْقَطَعَتْ، وَخَرَجْنَا
نَمْشِي فِي الشَّمْسِ.
Ada seseorang yang masuk masjid dari pintu tepat depan mimbar pada hari jum’at. Sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
ketika itu sedang berdiri berkhutbah. Kemudian dia menghadap ke arah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan berdiri dan mengatakan, ‘Ya
Rasulullah, ternak pada mati, tanah becah tidak bisa dilewati, karena
itu berdoalah kepada Allah agar Dia menurukan hujan untuk kami.’ Spontan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tangan beliau, dan membaca doa:
اللَّهُمَّ اسْقِنَا، اللَّهُمَّ اسْقِنَا، اللَّهُمَّ اسْقِنَا
“Ya Allah, berilah kami hujan…, Ya Allah, berilah kami hujan.., Ya Allah, berilah kami hujan.”
Anas melanjutkan kisahnya,
Demi Allah, sebelumnya kami tidak
melihat ada mendung di atas, tidak pula awan tipis, langit sangat
cerah. Tidak ada penghalang antara kami dengan bukit Sal’. Namun
tiba-tiba muncul dari belakangnya awan mendung seperti perisai. Ketika
mendung sudah persis di atas kita, turun hujan.
Anas menegaskan, “Demi Allah,
kami tidak melihat matahari selama 6 hari.” Kemudian pada hari jumatnya,
datang seseorang dari pintu yang sama, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berdiri menyampaikan khutbah. Dia menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam sambil berdiri. Dia mengatakan, ‘Ya Rasulullah, banyak ternak
yang mati, dan jalan terputus. Karena itu, berdoalah kepada Allah agar
Dia menahan hujan.’ Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya, dan berdoa,
اللَّهُمَّ
حَوَالَيْنَا، وَلاَ عَلَيْنَا، اللَّهُمَّ عَلَى الآكَامِ وَالجِبَالِ
وَالظِّرَابِ وَبُطُونِ الأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ
ALLAHUMMA
HAWAALAINA WA LAA ’ALAINA. ALLAHUMMA ’ALAL AAKAMI WAL JIBAALI, WAZH
ZHIROOBI, WA BUTHUNIL AWDIYATI, WA MANAABITISY SYAJARI
“Ya
Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami dan tidak di atas kami. Ya
Allah turunkan hujan di bukit-bukit, pegunungan, dataran tinggi, perut
lembah, dan tempat tumbuhnya pepohonan.” Tiba-tiba hujan langsung
berhenti. Kami keluar masjid di bawah terik matahari. (HR. Bukhari – Muslim).
Dari hadis di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melantunkan doa ketika terjadi banjir, akibat terlalu sering hujan. Doa
ini bisa anda baca dalam kondisi banjir seperti yang terjadi di ibu
kota. Dengan harapan, semoga Allah tidak menimpakan hujan itu sebagai
adzab, namun menjadi rahmat. Hujan itu turun di tempat yang subur dan
bermanfaat bagi tanaman.
Ibnu Daqiqil Id ketika menjelaskan hadis ini mengatakan,
وَفِيهِ
دَلِيلٌ عَلَى الدُّعَاءِ لِإِمْسَاكِ ضَرَرِ الْمَطَرِ. كَمَا
اُسْتُحِبَّ الدُّعَاءُ لِنُزُولِهِ عِنْدَ انْقِطَاعِهِ. فَإِنَّ الْكُلَّ
مُضِرٌّ
Hadis ini merupakan dalil
bolehnya berdoa memohon dihentikan dampak buruk hujan, sebagaimana
dianjurkan untuk berdoa agar turun hujan, ketika lama tidak turun.
Karena semuanya membahayakan. (Ihkam Al-Ahkam, 1/357)
Jika doa di atas terlalu panjang, anda bisa membaca bagian depan:
اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا، وَلاَ عَلَيْنَا
“Ya Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami dan tidak di atas kami.”
Anda baca doa ini berulang-ulang.
Juga dianjurkan bagi khatib untuk membaca doa ini ketika jumatan,
sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas.
Allahu a’lam
Dijawab oleh ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina www.KonsultasiSyariah.com)
Bolehkah Meminjam Uang Bank Karena Kepepet?
Posted: 17 Jan 2013 02:28 PM PST
Meminjam Uang Bank Karena Kepepet
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum.
Kita semua tahu, bahwa pinjaman uang di bank itu riba.
Bagaiman solusi bagi orang yang membutuhkan uang? Karena saat ini,
hanya bank, yang berani meminjamkan uang dalam jumlah kecil maupun
besar.
Terima kasih.
Wassalam
Wassalam
Dari: Dandy
Jawaban:
Wa’alaikumussalam
Alhamdulillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, wa ba’du,
Prinsip pokok yang wajib kita
tanamkan bersama, bertransaksi dengan bank dalam bentuk meminjam uang
untuk kebutuhan apapun, termasuk praktik riba. Karena bank tidak mungkin
mengucurkan dana selain CSR, tanpa embel-embel riba. Dengan demikian,
bank sejatinya bukan solusi bagi masalah keuangan masyarakat. Justru
bank adalah penyakit bagi masyarakat. Apapun nama dan labelnya. Baik
konvensional maupun syariah – sebagaimana pengakuan mereka yang pernah
terjun di bank syariah –.
Bank merupakan agen riba di
masyarakat. Mereka jaya di atas penderitaan banyak orang. Berita tentang
orang yang bunuh diri karena terlilit utang bank, dipukuli debt
collector, rumah disita sehingga anak istri telantar, dst. Peristiwa
semacam ini bukan hal yang asing di tempat kita. Para pegawai bank
duduk manis di ruang ber-AC dengan gaji besar, hanya dengan
memperhatikan perhitungan angka di komputer, nyawa nasabah bisa menjadi
taruhannya.
Lebih dari itu, pinjam dana dari
bank, sejatinya kita telah melanggar ancaman laknat karena transaksi
riba. Satu hadis yang sangat sering kita dengar, dari Ali bin Abi Thalib
radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَةً: آكِلَ الرِّبَا، وَمُوكِلَهُ، وَكَاتِبَهُ، وَشَاهِدَيْهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melaknat 10 orang: pemakan riba, pemberi makan riba, dua saksi
transaksi riba, dan orang mencatat transaksinya.” (HR. Ahmad 635).
Dalam riwayat Baihaqi terdapat tambahan:
وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan: “Mereka semua sama.” (Baihaqi dalam As-Shugra, 1871).
Pemberi makan riba pada hadis ini
adalah para nasabah yang meminjang uang di bank, yang mempersyaratkan
adanya riba, sebagaimana keterangan di Aunul Ma’bud.
Pendek kata, bagi orang yang sedang memiliki masalah keuangan, meminjam di bank sama dengan menciptakan masalah baru baginya.
Lalu bagaimana dengan orang yang butuh banyak uang? Bukankah pinjaman bank akan sangat membantu?
Pertanyaan inilah yang mungkin
menjadi alasan terbesar bagi kebanyakan orang untuk tetap gandrung
dengan pinjaman bank. Namun sebenarnya, pertanyaan ini masih terlalu
global, sehingga perlu kita rinci untuk bisa memberikan jawaban yang
berbeda. Rincian itu sebenarnya merupakan turunan dari pertanyaan di
atas:
Apa latar belakang dia butuh banyak uang?Dan untuk tujuan apa dia butuh banyak uang?
Konsekuensi bahwa Islam adalah
agama sempurna, kita bisa mendapatkan jawaban yang benar untuk semua
masalah. Tak terkecuali masalah keuangan. Untuk menjawab pertanyaan di
atas, ada beberapa catatan yang bisa kita jadikan pengantar:
Pertama, kita
yakin hampir semua orang butuh harta, karena dia butuh untuk hidup. Di
lain pihak, tidak semua orang bisa mencari sendiri harta yang menjadi
kebutuhan pokok hidupnya. Dalam Islam, manusia yang tidak bisa mencari
kebutuhan hidup sendiri dikelompokkan menjadi dua:
a. Orang yang menjadi tanggungan keluarganya yang lain, seperti anak
menjadi tanggungan orang tua, atau orang tua yang tidak mampu mencari
nafkah menjadi tanggungan anak lelaki, atau saudara yang tidak mampu
bekerja karena cacat fisik atau mental, menjadi tanggungan saudaranya
yang lain, dst.b. Orang yang menjadi tanggungan kaum muslimin secara bersama atau negara, karena mereka tidak lagi menjadi tanggungan anggota keluarganya yang lain. Merekalah orang fakir, miskin, ibnu sabil, budak mukatab, jatuh pailit karena utang, dst. Untuk menutupi kebutuhan pokok hidupnya, mereka berhak mendapatkan harta zakat.
Melihat peta masyarakat muslim yang demikian, sejatinya dalam Islam tidak ada istilah manusia terlantar karena masalah harta. Karena yang mampu wajib membayar zakat dan yang kurang mampu, berhak menerima zakat. Sehingga kebutuhan pokok setiap muslim pasti akan terjamin.
Kedua, dalam Islam ada manusia yang diizinkan untuk meminta-minta. Sehingga andaipun dia tidak tercover dengan harta zakat, dia masih bisa mendapatkan harta dari sumber yang lain untuk menutupi kebutuhan pokoknya. Diantara kondisi tersebut adalah:
a. Ketika seseorang menanggung beban diyat (denda) atau pelunasan hutang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai dia mampu melunasinya. Setelah lunas, dia wajib untuk meninggalkan mengemis.
b. Ketika seseorang ditimpa
musibah yang menghabiskan seluruh hartanya, ia boleh meminta-minta
sampai ia mendapatkan sandaran hidup.
c. Ketika seseorang tertimpa
kefakiran yang sangat berat, sehingga disaksikan oleh 3 orang berakal,
pemuka masyarakatnya bahwa dia tertimpa kefakiran, maka halal baginya
meminta-minta sampai dia mendapatkan kecukupan bagi kehidupannya.
Pada tiga kondisi ini, seseorang
diperbolehkan untuk meminta-minta sumbangan. Dalil kesimpulan ini adalah
hadis dari Sahabat Qabishah bin Mukhariq radhiyallahu ‘anhu, bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Wahai
Qabishah! Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal, kecuali bagi
salah satu dari tiga orang: Seseorang yang menanggung beban (hutang
orang lain, diyat/denda), ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya,
kemudian berhenti. Dan seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan
hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup.
Dan seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang
yang berakal dari kaumnya mengatakan, ‘Si fulan telah ditimpa
kesengsaraan hidup,’ ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran
hidup. Meminta-minta selain untuk ketiga hal itu, wahai Qabishah! adalah
haram, dan orang yang memakannya adalah memakan yang haram.” (HR Muslim no.1044, Abu Dawud no.1640, dll)
Ada satu lagi yang boleh
meminta-minta, yaitu ketika seseorang meminta sumbangan untuk
kepentingan kaum muslimin, bukan kepentingan pribadinya. Seperti untuk
tujuan dakwah, pembangunan sarana keagamaan, dll. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memotivasi para sahabat untuk berinfak dalam rangka jihad atau kepentingan sosial lainnya.
Melihat klasifikasi di atas, kita
akan kesulitan mencari alasan lain untuk membolehkan seseorang pinjam
uang dari bank. Selain untuk tujuan yang bukan bagian dari kebutuhan
utama hidupnya, semacam modal usaha. Jika karena latar belakang modal
usaha, meminjam modal dari bank, hakikatnya adalah mengawali usaha
dengan transaksi riba. Bisa jadi itu akan menghilangkan keberkahan
usahanya. Sebagai solusi, dia bisa membuka investor untuk turut
menanamkan modal pada sektor usaha yang dijalani.
Kesimpulannya, tidak ada alasan
darurat untuk mencari pinjaman di bank. Karena dalam kondisi darurat,
kaum muslimin bisa terbantukan dengan adanya zakat dan sedekah. Untuk
urusan usaha dan bisnis, masih ada seribu alternatif yang halal, tanpa
harus melibatkan riba.
Allahu a’lam
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina www.KonsultasiSyariah.com)
Kamis, 17 Januari 2013
ISTIQAMAH DI ZAMAN MODERN
Pertanyaan:
1. Bagaimana untuk meyakinkan bahwa semua kebaikan dan kejahatan itu adalah atas kehendak Allah swt..?
2. Bagaimana agar kita tetap istiqomah dalam bertaqwa pada jaman sekarang ini karena sekarang banyak sekali godaannya, terutama dengan semakin majunya peradaban jaman..?
Jawaban:
Pernyataan Anda perlu saya luruskan dengan keterangan sebagai berikut:
Pertama, Allah menurunkan ajaran yang fithri/alami/natural (karenanya tidak bisa disebut sebagai beban) demi kebaikan/kebahagiaan manusia;
Kedua, Allah menghendaki agar ajaran itu dilaksanakan sebaik-baiknya;
Ketiga, namun begitu Allah menyerahkan pada manusia mau menerima perintah itu atau tidak, manusia harus berusaha sendiri untuk melaksanakan ajaran tsb.
Jadi tidak bisa dikatakan bahwa kejahatan (dengan arti kemaksiatan) itu kehendak Allah swt.Coba Anda renungi ayat berikut:
"Dan katakanlah: 'Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir'. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek. (QS. Al-Kahfi/18:29)
Perlu ditegaskan di sini adanya perbedaan antara kejahatan dengan arti madharat/balaa', dan kejahatan dengan arti kemaksiatan. Pada hakekatnya memang satu, tapi dua.
Jelasnya demikian, pencurian adalah tindakan kejahatan, baik dari sisi pencuri atau orang yang tercuri.
Tapi bila kita kaitkan dengan istilah madharat/balaa' dan maksiat, maka akan jelas perbedaannya: si pencuri melakukan kemaksiatan (pencurian), dan si tercuri terkena madharat (pencurian).
Dan tindakan mencuri (kemaksiatan) sama sekali bukan kehendak Allah.
Nah, orang yang tertimpa madharrat atau balaa' tidak berarti tertimpa kejelekan.
Renungkan hadis Nabi berikut:
Seseorang mengeluh ke Rasulullah: "Wahai Rasul, harta saya hilang dan badan saya sakit."
Jawab beliau: "Kebaikan (keberuntungan) itu tidak terdapat pada orang yang hartanya tidak hilang dan badannya tidak sakit. Karena sesungguhnya, jika Allah memang mencintai seorang hamba Allah menurunkan cobaan padanya lantas membekalinya kesabaran."
Hadis ini menyiratkan bahwa kejelekan/keburukan itu bukanlah identik dengan kenikmatan duniawi. Tapi kebaikan adalah kesabaran itu sendiri.
Sebelum membahas bagaimana tetap Istiqamah dalam bertakwa, perlu Anda ketahui mengenai apa sebenarnya taqwa itu (mena'ati perintah dan menjauhi larangan Allah Swt).
Saya hanya ingin menegaskan bahwa taqwa itu tidak hanya berkaitan dengan hal-hal yang bersifat ibadah murni, seperti shalat, puasa, zakat, dll.
Tapi taqwa juga meliputi hal-hal yang sifatnya duniawi, asal itu baik dan bermanfaat.
Kita menekuni apa yang menjadi hobi dan keahlian kita kendati itu hanya semata bersifat duniawi namun bermanfaat bagi semua makhluk di bumi ini juga taqwa.
Sebab Allah melarang tindakan-tindakan yang berakibat pada rusaknya lingkungan, dan Allah juga menegaskan agar kita jangan sampai melupakan persoalan-persoalan duniawi yang menopang kemaslahatan hidup kita di dunia.
Singkatnya, orang Islam itu harus jaya di dunia dan jangan sampai melupakan akheratnya.
Oleh karena demikian luasnya wilayah taqwa, maka dengan sendirinya problem istiqamah juga tidak sama.
Jika problem istiqamah Anda menyangkut hal 'ibadah, misal Anda sesekali berani melanggar perintah agama, seperti shalat, puasa, dll), Anda perlu meningkatkan wawasan keakhiratan.
Sebab kebanyakan faktor yang memnyebabkan terputusnya kontinyuitas/istiqamahnya suatu kegiatan (baik kegiatan duniawi atau ukhrawi) tiada lain adalah minimnya wawasan.
Setidaknya yang bisa Anda lakukan sendiri adalah menghidupkan kesadaran akan adanya kehidupan sesudah mati atau kehidupan akherat.
Saya kira semua orang Islam meyakini adanya kehidupan akherat, hanya saja kenyataannya tidak sedikit orang-orang yang lupa akan hal itu.
Mereka terlelap dalam kenikmatan duniawi.
Maka orang seperti ini perlu disadarkan mengenai kehidupan akherat, di mana orang yang sebagian besar hidupnya penuh ketaatan akan masuk surga dan bila didominasi kemaksiatan akan masuk neraka.
Bertanya-tanyalah dalam hati Anda:
Apa sebenarnya tujuan hidup Anda?
Apa hanya ingin cukup dengan kenikmatan duniawi?
Dengan semata melimpahnya harta-dunia apakah ketenangan batin bisa didapat?
Tidakkah batin akan tenang dengan menaati perintah-perintah agama, berdzikir/mengingat Allah?
Kalau pertanyaan-pertanyaan (muhaasabah) seperti ini belum mempan juga, sering-seringlah memikirkan "seandainya besok aku mati".
Dan jika hati Anda sudah tergerak untuk rajin melakukan ibadah, hanya saja Anda menghadapi problem lain, misal kurang mengetahui cara-cara ibadah denganbenar, Anda harus bertanya ke ahlinya.
Dan jika problem istiqamah itu menyangkut soal keduniaan, maka kita perlu meningkatkan wawasan/ilmu pengetahuan tentang keduniaan.
Yang bisa Anda lakukan mula-mula adalah menetapkan program, rencana-rencana, dan target.
Anda juga harus meningkatkan kedisiplinan, kesungguhan, dan ketulusan.
Bangunlah kesadaran bahwa diri kita juga harus memberi manfaat pada orang lain.
Sebab sebaik-baiknya manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi lingkungannya.
Untuk melengkapi tema istiqamah, berikut ini saya ambilkan tulisan Dr. Nurcholish Madjid yang berjudul "Istiqamah Di Zaman Modern" dalam bukunya Pintu-Pintu Menuju Tuhan.
ISTIQAMAH DI ZAMAN MODERN
Istiqamah artinya teguh hati, taat asas, atau konsisten.
Meskipun tidak semua orang bisa bersikap istiqamah, namun memeluk agama, untuk memperoleh hikmahnya secara optimal, sangat memerlukan sikap itu.
Allah menjanjikan demikian: "Dan seandainya mereka itu bersikap istiqamah di atas jalan kebenaran, maka pastilah Kami siramkan kepada mereka air yang melimpah." (QS. Al-Jinn/72:16).
Air adalah lambang kehidupan dan lambang kemakmuran. Maka Allah menjanjikan mereka yang konsisten mengikuti jalan yang benar akan mendapatkan hidup yang bahagia.
Tentu saja keperluan kepada sikap istiqamah itu ada pada setiap masa, dan mungkin lebih-lebih lagi diperlukan di zaman modern ini.
Karena kemodernan (modernitas, modernity) bercirikan perubahan. Bahkan para ahli menyebutkan bahwa kemodernan ditandai oleh "perubahan yang terlembagakan" (institutionalized change).
Artinya, jika pada zaman-zaman sebelumnya perubahan adalah sesuatu yang "luar biasa" dan hanya terjadi di dalam kurun waktu yang amat panjang, di zaman modern perubahan itu merupakan gejala harian, dan sudah menjadi keharusan.
Lihat saja, misalnya, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama teknologi microchip (harfiah: kerupuk kecil) dalam teknologi elektronika.
Siapa saja yang mencoba bertahan pada suatu bentuk produk, baik dia itu produsen atau konsumen, pasti akan tergilas dan merugi sendiri.
Karena itulah maka "Lembah Silikon" atau Silicon Valley di California selalu diliputi oleh ketegangan akibat kompetisi yang amat keras.
Adanya kesan bahwa "perubahan yang terlembagakan" itu tidak memberi tempat istiqamah adalah salah.
Kesalahan itu timbul antara lain akibat persepsi bahwa istiqamah mengandung makna yang statis.
Memang istiqamah mengandung arti kemantapan, tetapi tidak berarti kemandekan.
Melainkan lebih dekat kepada arti stabilitas yang dinamis. Dapat dikiaskan dengan kendaraan bermotor: semakin tinggi teknologi suatu mobil, semakin mampu dia melaju dengan cepat tanpa guncangan.
Maka disebut mobil itu memiliki stabilitas atau istiqamah.
Dan mobil disebut dengan stabil bukanlah pada waktu ia berhenti, tapi justru ketika dia melaju dengan cepat.
Maka begitu pula dengan hidup di zaman modern ini.
Kita harus bergerak, melaju, namun tetap stabil, tanpa goyah.
Ini bisa saja terwujud kalau kita menyadari dan meyakini apa tujuan hidup kita, dan kita dengan setia mengarahkan diri kepadanya, sama dengan mobil yang stabil terus melaju ke depan, tanpa terseot ke kanan-kiri.
Lebih-lebih lagi, yang sebenarnya mengalami "perubahan yang terlembagakan" dalam zaman modern ini hanyalah bidang-bidang yang bersangkutan dengan "cara" hidup saja, bukan esensi hidup itu sendiri dan tujuannya.
Ibarat perjalanan Jakarta-Surabaya, yang mengalami perubahan hanyalah alat transportasinya, mulai dari jalan kaki, sampai naik pesawat terbang. Tujuannya sendiri tidak terpengaruh oleh "cara" menempuh perjalanan itu sendiri.
Maka ibarat mobil yang stabil yang mampu melaju dengan cepat, begitu pula orang yang mencapai istiqamah tidak akan goyah, apalagi takut, oleh lajunya perubahan.
Dia hidup dinamis, berjalan di atas kebenaran demi kebenaran, untuk sampai akhirnya kembali kepada Tuhan, sang Kebenaran Mutlak dan Abadi.
Dan kesadaran akan hidup menuju Tuhan itulah yang akan memberi kebahagiaan sejati sesuai janji Tuhan di atas.
Semoga bermanfaat. Wassalaam.
Dikutip dari : Azzam Assadulloh
http://jamz725Art.blogspot.com
Label:Jamz
jamz725Art.blogspot.com
Lokasi:Blog Site
Bangka, Jakarta 12730, Indonesia
Langganan:
Komentar (Atom)