Laman

Sabtu, 19 Januari 2013

JANGAN CAMPURI URUSANKU !!!



Ketika hati mengeras, tak dapatlah masuk ke dalamnya cahaya hidayah. Urat-urat mengeras, ubun-ubun mengerut, kelopak mata melingkar, telinga pun seolah disumbat keangkuhan. Nasihat mengalir mencari jiwa-jiwa yang haus akan hidayah, namun ia tidak menemukan jalan untuk masuk. Dan asa pun terkubur oleh sebuat kalimat: “Jangan campuri urusanku!“.

Ya, itulah yang dikatakan oleh sebagian orang yang enggan menerima nasehat. Seolah ia merasa tidak perlu dikoreksi, atau merasa sudah benar dan tidak mungkin salah, merasa lebih pandai dan menganggap remeh orang yang menasehati, seolah ia tidak layak memberi nasehat, atau enggan mengakui kesalahan walaupun ia sudah jelas tersalah. Tidak heranlah kita, jika Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menyatakan bahwa sikap enggan menerima nasehat (yang benar) adalah kesombongan:

الكبر بطر الحق وغمط الناس

“Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia” (HR. Muslim, 91)

Seorang Muslim Itu Memberi Nasehat

Agama Islam adalah agama nasehat, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

الدين النصيحة قلنا : لمن ؟ قال : لله ولكتابه ولرسوله ولأئمة المسلمين وعامتهم

“Agama adalah nasehat”. Para sahabat bertanya: “Untuk siapa?”. Beliau menjawab: “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para imam kaum muslimin dan umat muslim seluruhnya” (HR. Muslim, 55)

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan kita beramar-ma’ruf nahi-mungkar dengan tangan jika mampu, apabila tidak mampu maka menasehati dengan lisan:

من رأى منكم منكرا فليغيره بيده . فإن لم يستطع فبلسانه . فإن لم يستطع فبقلبه .وذلك أضعف الإيمان

“Barang siapa yang melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka ubahlah dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka ubahlah dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemahnya iman” (HR. Muslim, 49)

Menasehati seseorang dari kesalahannya pada hakikatnya adalah usaha untuk menolong dan menyayanginya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

انصر أخاك ظالما أو مظلوما . قالوا : يا رسول الله ، هذا ننصره مظلوما ، فكيف ننصره ظالما ؟ قال : تأخذ فوق يديه

“Tolonglah saudaramu yang zhalim dan yang dizhalimi”. Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, kami paham bahwa yang dizhalimi mesti ditolong, namun bagaimana menolong orang yang zhalim?”. Beliau bersabda: “Tariklah tangannya (dari berbuat kezhaliman)” (HR. Bukhari, 2444)

Wajib bagi seseorang untuk memenuhi permintaan suadaranya yang meminta nasehat. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

حق المسلم على المسلم ست . قيل : ما هن ؟ يا رسول الله ! قال : إذا لقيته فسلم عليه . وإذا دعاك فأجبه . وإذا استنصحك فانصح له . وإذا عطس فحمد الله فشمته وإذا مرض فعده . وإذا مات فاتبعه

“Hak seorang muslim yang wajib dipenuhi oleh muslim yang lain ada enam”. Para sahabat bertanya: “Apa saja hal itu, wahai Rasulullah?”. Beliau bersabda: “Jika bertemu, beri salam padanya. Jika ia mengundangmu, penuhi undangannya. Jika ia meminta nasehatmu, nasehatilah ia. Jika ia bersin dan mengucap hamdalah, ucapkanlah tasymit. Jika ia sakit, jenguklah. Jika ia meninggal, antarlah jenazahnya” (HR. Muslim, 2162)

Islam tidak mengajarkan egois atau mementingkan diri sendiri tanpa mempedulikan keadaan saudaranya. Jika seorang menginginkan kebaikan pada dirinya, hendaknya ia juga menginginkan kebaikan yang sama diraih oleh saudaranya. Jika seseorang ingin menjadi hamba yang menegakkan shalat, ia pun hendaknya menginginkan saudaranya juga untuk bisa menegakkan shalat. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

لا يؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه ما يحب لنفسه

“Seseorang tidak dikatakan beriman hingga ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya” (HR. Bukhari 13, Muslim 45)

Seorang Muslim Itu Menerima Nasehat

Agar tidak tergolong manusia yang merugi, seseorang hendaknya gemar menasehati dan menerima nasehat. Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

“Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan saling menasehati supaya menetapi kesabaran” (QS. Al Ashr: 2-3)

Nasehat itu hanya bermanfaat bagi orang-orang yang memiliki iman. Adapun orang tak ada iman dalam hatinya, nasehat tidak ada manfaatnya bagi mereka. Allah Ta’ala berfirman:

وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَىٰ تَنفَعُ الْمُؤْمِنِينَ

“Berilah peringatan! Sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman” (QS. Adz Dzariyat: 55)

Nasehat itu hanya bermanfaat bagi orang-orang yang takut kepada Allah. Adapun orang yang sombong kepada Allah, semisal orang-orang yang kafir kepada Allah, nasehat tidak ada manfaatnya bagi mereka. Allah Ta’ala berfirman:

فَذَكِّرْ إِن نَّفَعَتِ الذِّكْرَىٰ سَيَذَّكَّرُ مَن يَخْشَىٰ وَيَتَجَنَّبُهَا الْأَشْقَى

“Berilah peringatan jika memang peringatan itu bermanfaat. Sehingga dengan peringatan itu, orang-orang yang takut kepada Allah akan mendapat pelajaran, dan orang-orang yang celaka akan menjauh” (QS. Al Fajr, 10-11 Al-A’laa: 9-11)

Enggan menerima nasehat dan ‘ngeyel’ untuk berjalan di atas kesalahan adalah tabiat kaum musyrikin. Allah Ta’ala berfirman:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۗ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ

‘Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?‘ (QS. Al Baqarah: 170)

Syubhat Penolak Nasehat

Terkadang orang yang sombong dan enggan menerima nasehat pun menangkis nasehat-nasehat yang disampaikan kepada dirinya dengan ayat Al Qur’an, diantaranya:

وَلَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ

“Bagi kami amalan kami, dan bagi kamu amalan kamu” (QS. Al Baqarah: 139, Al Qashash: 55, Asy Syuraa: 15)

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ

“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku” (QS. Al Kafirun: 6)

Padahal para ulama menjelaskan bahwa ayat-ayat tersebut ditujukan kepada orang kafir. Dalam tafsir Jalalain ditafsirkan:

” لَكُمْ دِينكُمْ “ الشِّرْك ” وَلِيَ دِين “ الْإِسْلَام

“Untukmu agamamu, yaitu kesyirikan. Dan untukku agamaku, yaitu Islam” (Tafsir Jalalain)

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan:

قَالَ لَهُمْ الرَّسُول صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ” لَكُمْ دِينكُمْ وَلِيَ دِين ” كَمَا قَالَ تَعَالَى” وَإِنْ كَذَّبُوك فَقُلْ لِي عَمَلِي وَلَكُمْ عَمَلكُمْ أَنْتُمْ بَرِيئُونَ مِمَّا أَعْمَل وَأَنَا بَرِيء مِمَّا تَعْمَلُونَ ” وَقَالَ” لَنَا أَعْمَالنَا وَلَكُمْ أَعْمَالكُمْ ” . وَقَالَ الْبُخَارِيّ يُقَال ” لَكُمْ دِينكُمْ ” الْكُفْر ” وَلِيَ دِين ” الْإِسْلَام

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berkata kepada mereka (orang kafir) : “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku” semisal dengan firman Allah Ta’ala (yang artinya): ”Jika mereka mendustakan kamu, maka katakanlah: ‘Bagiku pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu. Kamu berlepas diri terhadap apa yang aku kerjakan dan akupun berlepas diri terhadap apa yang kamu kerjakan‘” (QS. Yunus: 41). Juga firman Allah Ta’ala (yang artinya): ”Bagi kami amalan kami, dan bagi kamu amalan kamu” (QS. Al Baqarah: 139, Al Qashash: 55, Asy Syuraa: 15). Imam Al Bukhari menjelaskan, makna ‘untukmu agamamu’ yaitu kekufuran, ‘untukku agamaku’ yaitu Islam.” (Tafsir Ibnu Katsir).

Sehingga jelas ayat-ayat tidak pantas dan tidak layak ditujukan kepada sesama muslim. Bahkan, andai ayat-ayat ini digunakan terhadap sesama muslim, akan bertentangan dengan ayat-ayat dan hadits lain yang memerintahkan kaum muslimin untuk saling menasehati, berdakwah dan beramar-ma’ruf nahi-mungkar. Bukan saling cuek, egois dan tidak mau tahu keadaan saudaranya serta membiarkan saudaranya terpuruk dalam kesalahan dan dosa.

Akhir kata, semoga Allah menolong kita agar menjadi orang yang berlapang dada dalam menerima nasehat. Teringat perkataan Umar bin Khattab radhiallahu’anhu yang biasa beliau ucapkan ketika ia dinasehati:

رحم الله امرأً أهدى إلي عيوبي

“Semoga Allah merahmati seseorang yang menunjukkan padaku kesalahan-kesalahanku“
Oleh: 
Omar Talib
jamz725Art
 

RENUNGAN UNTUK LELAKI DAN WAJIB DIBACA...!!





DI AKHIRAT NANTI ADA 4 GOLONGAN LELAKI YANG AKAN DITARIK MASUK KE NERAKA OLEH WANITA. Lelaki itu adalah mereka yang tidak memberikan hak kepada wanita dan tidak menjaga amanah itu.

1. Ayahnya

Jika seseorang yang bergelar ayah tidak mempedulikan anak perempuannya di dunia. Dia tidak memberikan segala keperluan agama seperti mengajarkan shalat, mengaji, dan sebagainya. Dia membiarkan anak perempuannya tidak menutup aurat. Tidak cukup kalau dangan hanya memberi kemewahan dunia saja. Maka dia akan ditarik ke neraka oleh anaknya.

Duhai lelaki yg bergelar Ayah, bagaimanakah keadaan anak perempuanmu sekarang? Apakah kau mengajar shalat dan shaum (puasa) padanya? Menutup aurat? Pengetahuan agama? Jika tidak terpenuhi, maka bersedialah untuk menjadi bagian dari Neraka.


2. Suaminya

Apabila suami tidak mempedulikan tindak tanduk isterinya. Bergaul bebas. Membiarkan istri berhias diri untuk lelaki yang bukan mahramnya.

Jika suami mendiam istri yang seperti itu walaupun suami adalah orang yang alim, suami adalah shalatnya yang tidak pernah bolong, suami adalah yang shaumnya tidak pernah lalai. Maka dia akan turut ditarik oleh isterinya bersama-sama ke dalam Neraka.

Duhai lelaki yang bergelar Suami, bagaimanakah keadaan istri tercinta sekarang? Dimanakah dia? Bagaimana akhlaknya? Jika tidak kau jaga mengikuti ketetapan Islam, maka terimalah keniscayaan yang kau akan sehidup semati bersamanya hingga Neraka.


3. Saudara Lelakinya

Apabila ayahnya sudah tiada, tanggungjawab menjaga kehormatan wanita jatuh pada saudara lelakinya (kakak, paman). Jika mereka hanya mementingkan keluarganya saja dan adik atau keponakannya dibiarkan dari ajaran Islam, maka tunggulah tarikan mereka di akhirat kelak.

Duhai lelaki yg mempunyai saudara perempuan, jangan hanya menjaga amalmu dan melupakan amanah yang lain. Karena kau juga akan pertanggungjawabkan diakhirat kelak.


4. Anak Lelakinya

Apabila seorang anak laki-laki tidak menasehati Ibunya perihal kelakuan yang tidak dibenarkan dalam Islam. Bila ibu membuat kemungkaran, mengumpat, memfitnah, mengunjing, maka anak itu akan ditanya dan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Dan bersama menemani ibunya di Neraka.

Duhai anak lelaki, sayangilah ibumu, nasihatilah dia jika bersalah atau lalai. Karena ibu juga insan biasa, tak lepas dari melakukan dosa. Selamatkanlah dia dari ancaman neraka, jika tidak, kau juga akan ditarik menjadi teman di dalamnya.


* * *

Betapa hebatnya tarikan wanita. Bukan saja di dunia, tapi juga di akhirat yang tak kalah hebat tarikannya. Maka, kaum lelaki yang bergelar ayah, suami, saudara atau anak harus memainkan peran mereka dengan baik.

"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan."
(Surat At Tahrim : 6)


* * *
 http://jamz725Art.blogspot.com

Jumat, 18 Januari 2013

Bolehkah Utang Bank Untuk Menikah?

Posted: 11 Jan 2013 03:00 PM PST

Utang Bank Untuk Menikah

Pertanyaan:
Assalmu’alaikum.
Maaf Pak Ustadz, saya mau bertanya seputar pernikahan. Bagaimana hukum orang yang meminjam uang ke Bank untuk keperluan nikah? Terima Kasih atas segala perhatian dan jawabannya.
Jazakallahu khairan.
Dari: Apip
Jawaban:
Wa’alaikumussalam
Alhamdulillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, wa ba’du,
Menikah memang sangat dianjurkan, bahkan bisa jadi wajib bagi orang yang dikhawatirkan berzina. Namun bukan berarti ini harus dilakukan dengan melegalkan segala macam cara. Berusaha menempuh jalan yang diridhai Allah, merupakan cara paling tepat untuk mendapatkan keberkahan dalam pernikahan.
Seperti yang kita ketahui, meminjam bank tidak akan lepas dari riba. Seberapapun pinjaman Anda dari bank, tidak akan lepas dari persyaratan riba. Kenyataan ini menunjukkan bahwa orang yang berutang di bank berarti sedang melakukan transaksi riba dengan bank. Meskipun dalam hal ini, dia hanya sebagai nasabah, sementara bank yang memakan ribanya. Karena keberadaan nasabah yang meminjam uang di bank, menjadi bagi bank untuk makan riba. Untuk alasan inilah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat manusia yang meminjam uang dengan persyaratan riba.
Berikut beberapa dalilnya,
Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا، وَمُوكِلَهُ، وَشَاهِدَيْهِ، وَكَاتِبَهُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang makan riba, pemberi makan riba, dua saksi transaksi riba, dan orang mencatat transaksinya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan disahihkan al-Albani)
Dalam riwayat yang lain, dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَةً: آكِلَ الرِّبَا، وَمُوكِلَهُ، وَكَاتِبَهُ، وَشَاهِدَيْهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat 10 orang: pemakan riba, pemberi makan riba, dua saksi transaksi riba, dan orang mencatat transaksinya.” (HR. Ahmad 635).
Dalam riwayat Baihaqi terdapat tambahan:
وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan: “Mereka semua sama.” (Baihaqi dalam ash-Shugra, 1871).
Siapakah pemberi makan riba?
Dalam Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abu Daud dinyatakan:
وَموكِلَهُ أَيْ مُعْطِيَهُ لِمَنْ يَأْخُذُهُ
“Pemberi makan” maksudnya yang memberikan riba kepada orang yang mengambilnya. (Aunul Ma’bud, 9:130)
Anda bisa bayangkan, posisi nasabah yang meminjam uan di bank mengalami kerugian dua kali. Rugi memberikan uang riba ke bank dan rugi dengan ancaman laknat karena melanggar hadis di atas.
Solusi
Ada beberapa alternatif solusi, agar Anda tetap bisa menikah tanpa harus menyentuh bank:
Pertama, menabung dengan menunda nikah
Jika masih memungkinkan bagi Anda untuk menunda nikah, terlebih jika Anda belum memiliki calon istri, kami sarankan agar Anda menabung sampai Anda memiliki dana yang cukup untuk menikah. Dalam kesempatan yang sama, agar kondisi syahwat tidak muncul berlebihan, Anda aktifkan puasa sunah. Solusi ini yang disarankan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang belum mampu menikah. Beliau bersabda,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
Wahai para pemuda, siapa yang mampu menanggung nafkah maka hendaknya dia menikah. Siapa yang belum mampu maka dia harus puasa, karena puasa itu menjadi penurun syahwat baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kedua, sederhanakan walimah
Inti walimah adalah makan-makan, untuk menunjukkan kegembiraan Anda sebagai pengantin baru dan sekaligus pengumuman nikah bagi masyarakat. Untuk hanya tujuan ini, sejatinya tidak membutuhkan banyak biaya.
Namun sayangnya, tradisi masyarakat kita menjadikan walimah sebagai lambang kebanggaan keluarga. Mereka menganggap walimah mewah melambangkan keistimewaan sebuah keluarga. Wajar saja jika tradisi walimah di tempat kita tidak lepas dari sikap mubadzir dan melampaui batas, yang jelas-jelas itu adalah sikap masyarakat jahiliyah. Mereka rela untuk utang demi menampakkan kemewahan dan mendapatkan pujian.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ
“Janganlah kamu berbuat tabdzir (mubadzir). Sesungguhnya orang-orang yang suka berbuat tabdzir adalah saudara-saudara syaitan..” (QS. Al Isra’ 26 – 27).
Ulama berbeda pendapat tentang makna tabdzir (mubadzir).
Az-Zajjaj mengatakan:
“Tabdzir adalah membelanjakan harta untuk selain ketaatan kepada Allah. Orang jahiliyah menyembelih onta, menghabiskan uangnya karena kesombongan dan cari pujian, kemudian Allah perintahkan untuk membelanjakan harta semata-mata karena mencari wajah Allah dalam hal-hal yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah.”
Hal lain yang perlu direnungkan dalam ayat ini adalah pernyataan “…orang-orang yang suka berbuat tabdzir adalah saudara-saudara setan.” Pernyataan ini menunjukkan celaan yang sangat keras kepada orang yang suka berbuat mubadzir. Keadaannya disamakan dengan setan yang kufur terhadap nikmat, karena menggunakan nikmat tersebut tidak untuk ketaatan kepada Allah.
Untuk itulah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut hidangan walimah, sebagai hidangan yang buruk. Beliau bersabda:
شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُدْعَى لَهَا الأَغْنِيَاءُ ، وَيُتْرَكُ الْفُقَرَاءُ
Makanan yang paling buruk adalah makanan walimah (karena) hanya mengundang orang kaya dan meninggalkan (tidak mengundang) orang miskin.” (HR. Bukhari 5177)
Jika Anda terpaksa harus utang agar bisa menikah, Anda harus tetap menghindari bank. Sebagai gantinya, Anda bisa berutang ke selain bank atau lembaga riba lainnya. Misalnya berutang ke kerabat yang memiliki kelebihan harta. Perbuatan semacam ini termasuk bentuk ta’awun (tolong menolong) dalam kebaikan dan taqwa.
Semoga Allah memudahkan langkah kita untuk istiqamah di atas kebenaran. Amin.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina www.KonsultasiSyariah.com)

Bolehkah Meminjam Uang Bank Karena Kepepet?

Posted: 17 Jan 2013 02:28 PM PST

Meminjam Uang Bank Karena Kepepet

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum.
Kita semua tahu, bahwa pinjaman uang di bank itu riba. Bagaiman solusi bagi orang yang membutuhkan uang? Karena saat ini, hanya bank, yang berani meminjamkan uang dalam jumlah kecil maupun besar.
Terima kasih.
Wassalam
Dari: Dandy
Jawaban:
Wa’alaikumussalam
 Alhamdulillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, wa ba’du,
Prinsip pokok yang wajib kita tanamkan bersama, bertransaksi dengan bank dalam bentuk meminjam uang untuk kebutuhan apapun, termasuk praktik riba. Karena bank tidak mungkin mengucurkan dana selain CSR, tanpa embel-embel riba. Dengan demikian, bank sejatinya bukan solusi bagi masalah keuangan masyarakat. Justru bank adalah penyakit bagi masyarakat. Apapun nama dan labelnya. Baik konvensional maupun syariah – sebagaimana pengakuan mereka yang pernah terjun di bank syariah –.
Bank merupakan agen riba di masyarakat. Mereka jaya di atas penderitaan banyak orang. Berita tentang orang yang bunuh diri karena terlilit utang bank, dipukuli debt collector, rumah disita sehingga anak istri telantar, dst. Peristiwa semacam ini bukan hal yang asing di tempat kita. Para pegawai bank duduk manis di ruang ber-AC dengan gaji besar, hanya dengan memperhatikan perhitungan angka di komputer, nyawa nasabah bisa menjadi taruhannya.
Lebih dari itu, pinjam dana dari bank, sejatinya kita telah melanggar ancaman laknat karena transaksi riba. Satu hadis yang sangat sering kita dengar, dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَةً: آكِلَ الرِّبَا، وَمُوكِلَهُ، وَكَاتِبَهُ، وَشَاهِدَيْهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat 10 orang: pemakan riba, pemberi makan riba, dua saksi transaksi riba, dan orang mencatat transaksinya.” (HR. Ahmad 635).
Dalam riwayat Baihaqi terdapat tambahan:
وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan: “Mereka semua sama.” (Baihaqi dalam As-Shugra, 1871).
Pemberi makan riba pada hadis ini adalah para nasabah yang meminjang uang di bank, yang mempersyaratkan adanya riba, sebagaimana keterangan di Aunul Ma’bud.
Pendek kata, bagi orang yang sedang memiliki masalah keuangan, meminjam di bank sama dengan menciptakan masalah baru baginya.
Lalu bagaimana dengan orang yang butuh banyak uang? Bukankah pinjaman bank akan sangat membantu?
Pertanyaan inilah yang mungkin menjadi alasan terbesar bagi kebanyakan orang untuk tetap gandrung dengan pinjaman bank. Namun sebenarnya, pertanyaan ini masih terlalu global, sehingga perlu kita rinci untuk bisa memberikan jawaban yang berbeda. Rincian itu sebenarnya merupakan turunan dari pertanyaan di atas:
Apa latar belakang dia butuh banyak uang?
Dan untuk tujuan apa dia butuh banyak uang?
Konsekuensi bahwa Islam adalah agama sempurna, kita bisa mendapatkan jawaban yang benar untuk semua masalah. Tak terkecuali masalah keuangan. Untuk menjawab pertanyaan di atas, ada beberapa catatan yang bisa kita jadikan pengantar:
Pertama, kita yakin hampir semua orang butuh harta, karena dia butuh untuk hidup. Di lain pihak, tidak semua orang bisa mencari sendiri harta yang menjadi kebutuhan pokok hidupnya. Dalam Islam, manusia yang tidak bisa mencari kebutuhan hidup sendiri dikelompokkan menjadi dua:
a. Orang yang menjadi tanggungan keluarganya yang lain, seperti anak menjadi tanggungan orang tua, atau orang tua yang tidak mampu mencari nafkah menjadi tanggungan anak lelaki, atau saudara yang tidak mampu bekerja karena cacat fisik atau mental, menjadi tanggungan saudaranya yang lain, dst.
b. Orang yang menjadi tanggungan kaum muslimin secara bersama atau negara, karena mereka tidak lagi menjadi tanggungan anggota keluarganya yang lain. Merekalah orang fakir, miskin, ibnu sabil, budak mukatab, jatuh pailit karena utang, dst. Untuk menutupi kebutuhan pokok hidupnya, mereka berhak mendapatkan harta zakat.
Melihat peta masyarakat muslim yang demikian, sejatinya dalam Islam tidak ada istilah manusia terlantar karena masalah harta. Karena yang mampu wajib membayar zakat dan yang kurang mampu, berhak menerima zakat. Sehingga kebutuhan pokok setiap muslim pasti akan terjamin.
Kedua, dalam Islam ada manusia yang diizinkan untuk meminta-minta. Sehingga andaipun dia tidak tercover dengan harta zakat, dia masih bisa mendapatkan harta dari sumber yang lain untuk menutupi kebutuhan pokoknya. Diantara kondisi tersebut adalah:
a. Ketika seseorang menanggung beban diyat (denda) atau pelunasan hutang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai dia mampu melunasinya. Setelah lunas, dia wajib untuk meninggalkan mengemis.
b. Ketika seseorang ditimpa musibah yang menghabiskan seluruh hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup.
c. Ketika seseorang tertimpa kefakiran yang sangat berat, sehingga disaksikan oleh 3 orang berakal,  pemuka masyarakatnya bahwa dia tertimpa kefakiran, maka  halal  baginya  meminta-minta  sampai  dia  mendapatkan kecukupan bagi kehidupannya.
Pada tiga kondisi ini, seseorang diperbolehkan untuk meminta-minta sumbangan. Dalil kesimpulan ini adalah hadis dari Sahabat Qabishah bin Mukhariq radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Wahai Qabishah! Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal, kecuali bagi salah satu dari tiga orang: Seseorang yang menanggung beban (hutang orang lain, diyat/denda), ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian berhenti. Dan seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup. Dan seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang berakal dari kaumnya mengatakan, ‘Si fulan telah ditimpa kesengsaraan hidup,’ ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup. Meminta-minta selain untuk ketiga hal itu, wahai Qabishah! adalah haram, dan orang yang memakannya adalah memakan yang haram.” (HR Muslim no.1044, Abu Dawud no.1640, dll)
Ada satu lagi yang boleh meminta-minta, yaitu ketika seseorang meminta sumbangan untuk kepentingan kaum muslimin, bukan kepentingan pribadinya. Seperti untuk tujuan dakwah, pembangunan sarana keagamaan, dll. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memotivasi para sahabat untuk berinfak dalam rangka jihad atau kepentingan sosial lainnya.
Melihat klasifikasi di atas, kita akan kesulitan mencari alasan lain untuk membolehkan seseorang pinjam uang dari bank. Selain untuk tujuan yang bukan bagian dari kebutuhan utama hidupnya, semacam modal usaha. Jika karena latar belakang modal usaha, meminjam modal dari bank, hakikatnya adalah mengawali usaha dengan transaksi riba. Bisa jadi itu akan menghilangkan keberkahan usahanya. Sebagai solusi, dia bisa membuka investor untuk turut menanamkan modal pada sektor usaha yang dijalani.
Kesimpulannya, tidak ada alasan darurat untuk mencari pinjaman di bank. Karena dalam kondisi darurat, kaum muslimin bisa terbantukan dengan adanya zakat dan sedekah. Untuk urusan usaha dan bisnis, masih ada seribu alternatif yang halal, tanpa harus melibatkan riba.
Allahu a’lam

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina www.KonsultasiSyariah.com)

Membaca AlQuran Meskipun Tidak Mengerti Satupun Artinya

Membaca AlQuran Meskipun Tidak Mengerti Satupun Artinya

Seorang muslim tua Amerika tinggal di sebuah perkebunan/area di sebelah timur Pegunungan Kentucky bersama cucu laki-lakinya. Setiap pagi Sang kakek bangun pagi dan duduk dekat perapian membaca Al-qur’an. Sang cucu ingin menjadi seperti kakeknya dan memcoba menirunya seperti yang disaksikannya setiap hari.

Suatu hari ia bertanya pada kakeknya : “ Kakek, aku coba membaca Al-Qur’an sepertimu tapi aku tak bisa memahaminya, dan walaupun ada sedikit yang aku pahami segera aku lupa begitu aku selesai membaca dan menutupnya. Jadi apa gunanya membaca Al-quran jika tak memahami artinya ?

Sang kakek dengan tenang sambil meletakkan batu-batu di perapian, memjawab pertanyaan sang cucu : “Cobalah ambil sebuah keranjang batu ini dan bawa ke sungai, dan bawakan aku kembali dengan sekeranjang air.”

Anak itu mengerjakan seperti yang diperintahkan kakeknya, tetapi semua air yang dibawa habis sebelum dia sampai di rumah. Kakeknya tertawa dan berkata, “Kamu harus berusaha lebih cepat lain kali “.

Kakek itu meminta cucunya untuk kembali ke sungai bersama keranjangnya untuk mencoba lagi. Kali ini anak itu berlari lebih cepat, tapi lagi-lagi keranjangnya kosong sebelum sampai di rumah.

Dengan terengah-engah dia mengatakan kepada kakeknya, tidak mungkin membawa sekeranjang air dan dia pergi untuk mencari sebuah ember untuk mengganti keranjangnya.

Kakeknya mengatakan : ”Aku tidak ingin seember air, aku ingin sekeranjang air. Kamu harus mencoba lagi lebih keras. ” dan dia pergi ke luar untuk menyaksikan cucunya mencoba lagi. Pada saat itu, anak itu tahu bahwa hal ini tidak mungkin, tapi dia ingin menunjukkan kepada kakeknya bahwa meskipun dia berlari secepat mungkin, air tetap akan habis sebelum sampai di rumah. Anak itu kembali mengambil / mencelupkan keranjangnya ke sungai dan kemudian berusaha berlari secepat mungkin, tapi ketika sampai di depan kakeknya, keranjang itu kosong lagi. Dengan terengah-engah, ia berkata : ”Kakek, ini tidak ada gunanya. Sia-sia saja”.

Sang kakek menjawab : ”Nak, mengapa kamu berpikir ini tak ada gunanya?. Coba lihat dan perhatikan baik-baik keranjang itu .”

Anak itu memperhatikan keranjangnya dan baru ia menyadari bahwa keranjangnya nampak sangat berbeda. Keranjang itu telah berubah dari sebuah keranjang batu yang kotor, dan sekarang menjadi sebuah keranjang yang bersih, luar dan dalam.

” Cucuku, apa yang terjadi ketika kamu membaca Qur’an ? Boleh jadi kamu tidak mengerti ataupun tak memahami sama sekali, tapi ketika kamu membacanya, tanpa kamu menyadari kamu akan berubah, luar dan dalam"

Doa ketika Banjir

Posted: 17 Jan 2013 03:02 AM PST

Doa menghadapi Musibah Banjir

Assalamualaikum.
Ustadz, apakah ada doa menghadapi musibah banjir?
Dari: Roy

Wa alaikumus salam
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah,
Ada satu hadis yang mungkin bisa menjawab pertanyaan anda;
Dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan, bahwa pernah terjadi musim kering selama setahun di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. sampai akhirnya datang suatu hari jumat, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat jumatan. Anas mengatakan,
أَنَّ رَجُلًا دَخَلَ يَوْمَ الجُمُعَةِ مِنْ بَابٍ كَانَ وِجَاهَ المِنْبَرِ، وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمٌ يَخْطُبُ، فَاسْتَقْبَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمًا، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ: هَلَكَتِ المَوَاشِي، وَانْقَطَعَتِ السُّبُلُ، فَادْعُ اللَّهَ يُغِيثُنَا، قَالَ: فَرَفَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَيْهِ، فَقَالَ: «اللَّهُمَّ اسْقِنَا، اللَّهُمَّ اسْقِنَا، اللَّهُمَّ اسْقِنَا» قَالَ أَنَسُ: وَلاَ وَاللَّهِ مَا نَرَى فِي السَّمَاءِ مِنْ سَحَابٍ، وَلاَ قَزَعَةً وَلاَ شَيْئًا وَمَا بَيْنَنَا وَبَيْنَ سَلْعٍ مِنْ بَيْتٍ، وَلاَ دَارٍ قَالَ: فَطَلَعَتْ مِنْ وَرَائِهِ سَحَابَةٌ مِثْلُ التُّرْسِ، فَلَمَّا تَوَسَّطَتِ السَّمَاءَ، انْتَشَرَتْ ثُمَّ أَمْطَرَتْ، قَالَ: وَاللَّهِ مَا رَأَيْنَا الشَّمْسَ سِتًّا، ثُمَّ دَخَلَ رَجُلٌ مِنْ ذَلِكَ البَابِ فِي الجُمُعَةِ المُقْبِلَةِ، وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمٌ يَخْطُبُ، فَاسْتَقْبَلَهُ قَائِمًا، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ: هَلَكَتِ الأَمْوَالُ وَانْقَطَعَتِ السُّبُلُ، فَادْعُ اللَّهَ يُمْسِكْهَا، قَالَ: فَرَفَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَيْهِ، ثُمَّ قَالَ: «اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا، وَلاَ عَلَيْنَا، اللَّهُمَّ عَلَى الآكَامِ وَالجِبَالِ وَالظِّرَابِ وَالأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ» قَالَ: فَانْقَطَعَتْ، وَخَرَجْنَا نَمْشِي فِي الشَّمْسِ.
Ada seseorang yang masuk masjid dari pintu tepat depan mimbar pada hari jum’at. Sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika itu sedang berdiri berkhutbah. Kemudian dia menghadap ke arah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan berdiri dan mengatakan, ‘Ya Rasulullah, ternak pada mati, tanah becah tidak bisa dilewati, karena itu berdoalah kepada Allah agar Dia menurukan hujan untuk kami.’ Spontan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tangan beliau, dan membaca doa:
اللَّهُمَّ اسْقِنَا، اللَّهُمَّ اسْقِنَا، اللَّهُمَّ اسْقِنَا
“Ya Allah, berilah kami hujan…, Ya Allah, berilah kami hujan.., Ya Allah, berilah kami hujan.”
Anas melanjutkan kisahnya,
Demi Allah, sebelumnya kami tidak melihat ada mendung di atas, tidak pula awan tipis, langit sangat cerah. Tidak ada penghalang antara kami dengan bukit Sal’. Namun tiba-tiba muncul dari belakangnya awan mendung seperti perisai. Ketika mendung sudah persis di atas kita, turun hujan.
Anas menegaskan, “Demi Allah, kami tidak melihat matahari selama 6 hari.” Kemudian pada hari jumatnya, datang seseorang dari pintu yang sama, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri menyampaikan khutbah. Dia menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil berdiri. Dia mengatakan, ‘Ya Rasulullah, banyak ternak yang mati, dan jalan terputus. Karena itu, berdoalah kepada Allah agar Dia menahan hujan.’ Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya, dan berdoa,
اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا، وَلاَ عَلَيْنَا، اللَّهُمَّ عَلَى الآكَامِ وَالجِبَالِ وَالظِّرَابِ وَبُطُونِ الأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ
ALLAHUMMA HAWAALAINA WA LAA ’ALAINA. ALLAHUMMA ’ALAL AAKAMI WAL JIBAALI, WAZH ZHIROOBI, WA BUTHUNIL AWDIYATI, WA MANAABITISY SYAJARI
“Ya Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami dan tidak di atas kami. Ya Allah turunkan hujan di bukit-bukit, pegunungan, dataran tinggi, perut lembah, dan tempat tumbuhnya pepohonan.” Tiba-tiba hujan langsung berhenti. Kami keluar masjid di bawah terik matahari.  (HR. Bukhari – Muslim).
Dari hadis di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melantunkan doa ketika terjadi banjir, akibat terlalu sering hujan. Doa ini bisa anda baca dalam kondisi banjir seperti yang terjadi di ibu kota. Dengan harapan, semoga Allah tidak menimpakan hujan itu sebagai adzab, namun menjadi rahmat. Hujan itu turun di tempat yang subur dan bermanfaat bagi tanaman.
Ibnu Daqiqil Id ketika menjelaskan hadis ini mengatakan,
وَفِيهِ دَلِيلٌ عَلَى الدُّعَاءِ لِإِمْسَاكِ ضَرَرِ الْمَطَرِ. كَمَا اُسْتُحِبَّ الدُّعَاءُ لِنُزُولِهِ عِنْدَ انْقِطَاعِهِ. فَإِنَّ الْكُلَّ مُضِرٌّ
Hadis ini merupakan dalil bolehnya berdoa memohon dihentikan dampak buruk hujan, sebagaimana dianjurkan untuk berdoa agar turun hujan, ketika lama tidak turun. Karena semuanya membahayakan. (Ihkam Al-Ahkam, 1/357)
Jika doa di atas terlalu panjang, anda bisa membaca bagian depan:
اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا، وَلاَ عَلَيْنَا
“Ya Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami dan tidak di atas kami.”
Anda baca doa ini berulang-ulang. Juga dianjurkan bagi khatib untuk membaca doa ini ketika jumatan, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas.
Allahu a’lam

Dijawab oleh ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina www.KonsultasiSyariah.com)

Bolehkah Meminjam Uang Bank Karena Kepepet?

Posted: 17 Jan 2013 02:28 PM PST

Meminjam Uang Bank Karena Kepepet

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum.
Kita semua tahu, bahwa pinjaman uang di bank itu riba. Bagaiman solusi bagi orang yang membutuhkan uang? Karena saat ini, hanya bank, yang berani meminjamkan uang dalam jumlah kecil maupun besar.
Terima kasih.

Wassalam
Dari: Dandy
Jawaban:
Wa’alaikumussalam
 Alhamdulillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, wa ba’du,
Prinsip pokok yang wajib kita tanamkan bersama, bertransaksi dengan bank dalam bentuk meminjam uang untuk kebutuhan apapun, termasuk praktik riba. Karena bank tidak mungkin mengucurkan dana selain CSR, tanpa embel-embel riba. Dengan demikian, bank sejatinya bukan solusi bagi masalah keuangan masyarakat. Justru bank adalah penyakit bagi masyarakat. Apapun nama dan labelnya. Baik konvensional maupun syariah – sebagaimana pengakuan mereka yang pernah terjun di bank syariah –.
Bank merupakan agen riba di masyarakat. Mereka jaya di atas penderitaan banyak orang. Berita tentang orang yang bunuh diri karena terlilit utang bank, dipukuli debt collector, rumah disita sehingga anak istri telantar, dst. Peristiwa semacam ini bukan hal yang asing di tempat kita. Para pegawai bank duduk manis di ruang ber-AC dengan gaji besar, hanya dengan memperhatikan perhitungan angka di komputer, nyawa nasabah bisa menjadi taruhannya.
Lebih dari itu, pinjam dana dari bank, sejatinya kita telah melanggar ancaman laknat karena transaksi riba. Satu hadis yang sangat sering kita dengar, dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَةً: آكِلَ الرِّبَا، وَمُوكِلَهُ، وَكَاتِبَهُ، وَشَاهِدَيْهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat 10 orang: pemakan riba, pemberi makan riba, dua saksi transaksi riba, dan orang mencatat transaksinya.” (HR. Ahmad 635).
Dalam riwayat Baihaqi terdapat tambahan:
وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan: “Mereka semua sama.” (Baihaqi dalam As-Shugra, 1871).
Pemberi makan riba pada hadis ini adalah para nasabah yang meminjang uang di bank, yang mempersyaratkan adanya riba, sebagaimana keterangan di Aunul Ma’bud.
Pendek kata, bagi orang yang sedang memiliki masalah keuangan, meminjam di bank sama dengan menciptakan masalah baru baginya.
Lalu bagaimana dengan orang yang butuh banyak uang? Bukankah pinjaman bank akan sangat membantu?
Pertanyaan inilah yang mungkin menjadi alasan terbesar bagi kebanyakan orang untuk tetap gandrung dengan pinjaman bank. Namun sebenarnya, pertanyaan ini masih terlalu global, sehingga perlu kita rinci untuk bisa memberikan jawaban yang berbeda. Rincian itu sebenarnya merupakan turunan dari pertanyaan di atas:
Apa latar belakang dia butuh banyak uang?
Dan untuk tujuan apa dia butuh banyak uang?
Konsekuensi bahwa Islam adalah agama sempurna, kita bisa mendapatkan jawaban yang benar untuk semua masalah. Tak terkecuali masalah keuangan. Untuk menjawab pertanyaan di atas, ada beberapa catatan yang bisa kita jadikan pengantar:
Pertama, kita yakin hampir semua orang butuh harta, karena dia butuh untuk hidup. Di lain pihak, tidak semua orang bisa mencari sendiri harta yang menjadi kebutuhan pokok hidupnya. Dalam Islam, manusia yang tidak bisa mencari kebutuhan hidup sendiri dikelompokkan menjadi dua:
a. Orang yang menjadi tanggungan keluarganya yang lain, seperti anak menjadi tanggungan orang tua, atau orang tua yang tidak mampu mencari nafkah menjadi tanggungan anak lelaki, atau saudara yang tidak mampu bekerja karena cacat fisik atau mental, menjadi tanggungan saudaranya yang lain, dst.
b. Orang yang menjadi tanggungan kaum muslimin secara bersama atau negara, karena mereka tidak lagi menjadi tanggungan anggota keluarganya yang lain. Merekalah orang fakir, miskin, ibnu sabil, budak mukatab, jatuh pailit karena utang, dst. Untuk menutupi kebutuhan pokok hidupnya, mereka berhak mendapatkan harta zakat.
Melihat peta masyarakat muslim yang demikian, sejatinya dalam Islam tidak ada istilah manusia terlantar karena masalah harta. Karena yang mampu wajib membayar zakat dan yang kurang mampu, berhak menerima zakat. Sehingga kebutuhan pokok setiap muslim pasti akan terjamin.
Kedua, dalam Islam ada manusia yang diizinkan untuk meminta-minta. Sehingga andaipun dia tidak tercover dengan harta zakat, dia masih bisa mendapatkan harta dari sumber yang lain untuk menutupi kebutuhan pokoknya. Diantara kondisi tersebut adalah:
a. Ketika seseorang menanggung beban diyat (denda) atau pelunasan hutang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai dia mampu melunasinya. Setelah lunas, dia wajib untuk meninggalkan mengemis.
b. Ketika seseorang ditimpa musibah yang menghabiskan seluruh hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup.
c. Ketika seseorang tertimpa kefakiran yang sangat berat, sehingga disaksikan oleh 3 orang berakal,  pemuka masyarakatnya bahwa dia tertimpa kefakiran, maka  halal  baginya  meminta-minta  sampai  dia  mendapatkan kecukupan bagi kehidupannya.
Pada tiga kondisi ini, seseorang diperbolehkan untuk meminta-minta sumbangan. Dalil kesimpulan ini adalah hadis dari Sahabat Qabishah bin Mukhariq radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Wahai Qabishah! Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal, kecuali bagi salah satu dari tiga orang: Seseorang yang menanggung beban (hutang orang lain, diyat/denda), ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian berhenti. Dan seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup. Dan seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang berakal dari kaumnya mengatakan, ‘Si fulan telah ditimpa kesengsaraan hidup,’ ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup. Meminta-minta selain untuk ketiga hal itu, wahai Qabishah! adalah haram, dan orang yang memakannya adalah memakan yang haram.” (HR Muslim no.1044, Abu Dawud no.1640, dll)
Ada satu lagi yang boleh meminta-minta, yaitu ketika seseorang meminta sumbangan untuk kepentingan kaum muslimin, bukan kepentingan pribadinya. Seperti untuk tujuan dakwah, pembangunan sarana keagamaan, dll. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memotivasi para sahabat untuk berinfak dalam rangka jihad atau kepentingan sosial lainnya.
Melihat klasifikasi di atas, kita akan kesulitan mencari alasan lain untuk membolehkan seseorang pinjam uang dari bank. Selain untuk tujuan yang bukan bagian dari kebutuhan utama hidupnya, semacam modal usaha. Jika karena latar belakang modal usaha, meminjam modal dari bank, hakikatnya adalah mengawali usaha dengan transaksi riba. Bisa jadi itu akan menghilangkan keberkahan usahanya. Sebagai solusi, dia bisa membuka investor untuk turut menanamkan modal pada sektor usaha yang dijalani.
Kesimpulannya, tidak ada alasan darurat untuk mencari pinjaman di bank. Karena dalam kondisi darurat, kaum muslimin bisa terbantukan dengan adanya zakat dan sedekah. Untuk urusan usaha dan bisnis, masih ada seribu alternatif yang halal, tanpa harus melibatkan riba.
Allahu a’lam

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina www.KonsultasiSyariah.com)

Kamis, 17 Januari 2013

ISTIQAMAH DI ZAMAN MODERN

Pertanyaan:
1. Bagaimana untuk meyakinkan bahwa semua kebaikan dan kejahatan itu adalah atas kehendak Allah swt..?
2. Bagaimana agar kita tetap istiqomah dalam bertaqwa pada jaman sekarang ini karena sekarang banyak sekali godaannya, terutama dengan semakin majunya peradaban jaman..?
Jawaban:
Pernyataan Anda perlu saya luruskan dengan keterangan sebagai berikut:
  • Pertama, Allah menurunkan ajaran yang fithri/alami/natural (karenanya tidak bisa disebut sebagai beban) demi kebaikan/kebahagiaan manusia;
  • Kedua, Allah menghendaki agar ajaran itu dilaksanakan sebaik-baiknya; 
  • Ketiga, namun begitu Allah menyerahkan pada manusia mau menerima perintah itu atau tidak, manusia harus berusaha sendiri untuk melaksanakan ajaran tsb. 
Jadi tidak bisa dikatakan bahwa kejahatan (dengan arti kemaksiatan) itu kehendak Allah swt.Coba Anda renungi ayat berikut:
"Dan katakanlah: 'Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir'. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek. (QS. Al-Kahfi/18:29)
Perlu ditegaskan di sini adanya perbedaan antara kejahatan dengan arti madharat/balaa', dan kejahatan dengan arti kemaksiatan. Pada hakekatnya memang satu, tapi dua. 
Jelasnya demikian, pencurian adalah tindakan kejahatan, baik dari sisi pencuri atau orang yang tercuri. 
Tapi bila kita kaitkan dengan istilah madharat/balaa' dan maksiat, maka akan jelas perbedaannya: si pencuri melakukan kemaksiatan (pencurian), dan si tercuri terkena madharat (pencurian). 
Dan tindakan mencuri (kemaksiatan) sama sekali bukan kehendak Allah. 
Nah, orang yang tertimpa madharrat atau balaa' tidak berarti tertimpa kejelekan. 
Renungkan hadis Nabi berikut: 
Seseorang mengeluh ke Rasulullah: "Wahai Rasul, harta saya hilang dan badan saya sakit." 
Jawab beliau: "Kebaikan (keberuntungan) itu tidak terdapat pada orang yang hartanya tidak hilang dan badannya tidak sakit. Karena sesungguhnya, jika Allah memang mencintai seorang hamba Allah menurunkan cobaan padanya lantas membekalinya kesabaran." 
Hadis ini menyiratkan bahwa kejelekan/keburukan itu bukanlah identik dengan kenikmatan duniawi. Tapi kebaikan adalah kesabaran itu sendiri. 
Sebelum membahas bagaimana tetap Istiqamah dalam bertakwa, perlu Anda ketahui mengenai apa sebenarnya taqwa itu (mena'ati perintah dan menjauhi larangan Allah Swt).
Saya hanya ingin menegaskan bahwa taqwa itu tidak hanya berkaitan dengan hal-hal yang bersifat ibadah murni, seperti shalat, puasa, zakat, dll. 
Tapi taqwa juga meliputi hal-hal yang sifatnya duniawi, asal itu baik dan bermanfaat. 
Kita menekuni apa yang menjadi hobi dan keahlian kita kendati itu hanya semata bersifat duniawi namun bermanfaat bagi semua makhluk di bumi ini juga taqwa. 
Sebab Allah melarang tindakan-tindakan yang berakibat pada rusaknya lingkungan, dan Allah juga menegaskan agar kita jangan sampai melupakan persoalan-persoalan duniawi yang menopang kemaslahatan hidup kita di dunia. 
Singkatnya, orang Islam itu harus jaya di dunia dan jangan sampai melupakan akheratnya. 
Oleh karena demikian luasnya wilayah taqwa, maka dengan sendirinya problem istiqamah juga tidak sama. 
Jika problem istiqamah Anda menyangkut hal 'ibadah, misal Anda sesekali berani melanggar perintah agama, seperti shalat, puasa, dll), Anda perlu meningkatkan wawasan keakhiratan. 
Sebab kebanyakan faktor yang memnyebabkan terputusnya kontinyuitas/istiqamahnya suatu kegiatan (baik kegiatan duniawi atau ukhrawi) tiada lain adalah minimnya wawasan. 
Setidaknya yang bisa Anda lakukan sendiri adalah menghidupkan kesadaran akan adanya kehidupan sesudah mati atau kehidupan akherat. 
Saya kira semua orang Islam meyakini adanya kehidupan akherat, hanya saja kenyataannya tidak sedikit orang-orang yang lupa akan hal itu. 
Mereka terlelap dalam kenikmatan duniawi. 
Maka orang seperti ini perlu disadarkan mengenai kehidupan akherat, di mana orang yang sebagian besar hidupnya penuh ketaatan akan masuk surga dan bila didominasi kemaksiatan akan masuk neraka. 
Bertanya-tanyalah dalam hati Anda: 
  • Apa sebenarnya tujuan hidup Anda? 
  • Apa hanya ingin cukup dengan kenikmatan duniawi? 
  • Dengan semata melimpahnya harta-dunia apakah ketenangan batin bisa didapat? 
  • Tidakkah batin akan tenang dengan menaati perintah-perintah agama, berdzikir/mengingat Allah? 
Kalau pertanyaan-pertanyaan (muhaasabah) seperti ini belum mempan juga, sering-seringlah memikirkan "seandainya besok aku mati". 
Dan jika hati Anda sudah tergerak untuk rajin melakukan ibadah, hanya saja Anda menghadapi problem lain, misal kurang mengetahui cara-cara ibadah denganbenar, Anda harus bertanya ke ahlinya. 
Dan jika problem istiqamah itu menyangkut soal keduniaan, maka kita perlu meningkatkan wawasan/ilmu pengetahuan tentang keduniaan. 
Yang bisa Anda lakukan mula-mula adalah menetapkan program, rencana-rencana, dan target. 
Anda juga harus meningkatkan kedisiplinan, kesungguhan, dan ketulusan. 
Bangunlah kesadaran bahwa diri kita juga harus memberi manfaat pada orang lain. 
Sebab sebaik-baiknya manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi lingkungannya. 
Untuk melengkapi tema istiqamah, berikut ini saya ambilkan tulisan Dr. Nurcholish Madjid yang berjudul "Istiqamah Di Zaman Modern" dalam bukunya Pintu-Pintu Menuju Tuhan.
ISTIQAMAH DI ZAMAN MODERN 
Istiqamah artinya teguh hati, taat asas, atau konsisten. 
Meskipun tidak semua orang bisa bersikap istiqamah, namun memeluk agama, untuk memperoleh hikmahnya secara optimal, sangat memerlukan sikap itu. 
Allah menjanjikan demikian: "Dan seandainya mereka itu bersikap istiqamah di atas jalan kebenaran, maka pastilah Kami siramkan kepada mereka air yang melimpah." (QS. Al-Jinn/72:16). 
Air adalah lambang kehidupan dan lambang kemakmuran. Maka Allah menjanjikan mereka yang konsisten mengikuti jalan yang benar akan mendapatkan hidup yang bahagia. 
Tentu saja keperluan kepada sikap istiqamah itu ada pada setiap masa, dan mungkin lebih-lebih lagi diperlukan di zaman modern ini. 
Karena kemodernan (modernitas, modernity) bercirikan perubahan. Bahkan para ahli menyebutkan bahwa kemodernan ditandai oleh "perubahan yang terlembagakan" (institutionalized change). 
Artinya, jika pada zaman-zaman sebelumnya perubahan adalah sesuatu yang "luar biasa" dan hanya terjadi di dalam kurun waktu yang amat panjang, di zaman modern perubahan itu merupakan gejala harian, dan sudah menjadi keharusan. 
 Lihat saja, misalnya, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama teknologi microchip (harfiah: kerupuk kecil) dalam teknologi elektronika. 
Siapa saja yang mencoba bertahan pada suatu bentuk produk, baik dia itu produsen atau konsumen, pasti akan tergilas dan merugi sendiri. 
Karena itulah maka "Lembah Silikon" atau Silicon Valley di California selalu diliputi oleh ketegangan akibat kompetisi yang amat keras. 
Adanya kesan bahwa "perubahan yang terlembagakan" itu tidak memberi tempat istiqamah adalah salah. 
Kesalahan itu timbul antara lain akibat persepsi bahwa istiqamah mengandung makna yang statis. 
Memang istiqamah mengandung arti kemantapan, tetapi tidak berarti kemandekan. 
Melainkan lebih dekat kepada arti stabilitas yang dinamis. Dapat dikiaskan dengan kendaraan bermotor: semakin tinggi teknologi suatu mobil, semakin mampu dia melaju dengan cepat tanpa guncangan. 
Maka disebut mobil itu memiliki stabilitas atau istiqamah. 
Dan mobil disebut dengan stabil bukanlah pada waktu ia berhenti, tapi justru ketika dia melaju dengan cepat. 
Maka begitu pula dengan hidup di zaman modern ini. 
Kita harus bergerak, melaju, namun tetap stabil, tanpa goyah. 
Ini bisa saja terwujud kalau kita menyadari dan meyakini apa tujuan hidup kita, dan kita dengan setia mengarahkan diri kepadanya, sama dengan mobil yang stabil terus melaju ke depan, tanpa terseot ke kanan-kiri. 
Lebih-lebih lagi, yang sebenarnya mengalami "perubahan yang terlembagakan" dalam zaman modern ini hanyalah bidang-bidang yang bersangkutan dengan "cara" hidup saja, bukan esensi hidup itu sendiri dan tujuannya. 
Ibarat perjalanan Jakarta-Surabaya, yang mengalami perubahan hanyalah alat transportasinya, mulai dari jalan kaki, sampai naik pesawat terbang. Tujuannya sendiri tidak terpengaruh oleh "cara" menempuh perjalanan itu sendiri. 
Maka ibarat mobil yang stabil yang mampu melaju dengan cepat, begitu pula orang yang mencapai istiqamah tidak akan goyah, apalagi takut, oleh lajunya perubahan. 
Dia hidup dinamis, berjalan di atas kebenaran demi kebenaran, untuk sampai akhirnya kembali kepada Tuhan, sang Kebenaran Mutlak dan Abadi. 
Dan kesadaran akan hidup menuju Tuhan itulah yang akan memberi kebahagiaan sejati sesuai janji Tuhan di atas. 
  Semoga bermanfaat. Wassalaam.
Dikutip dari : Azzam Assadulloh 
 http://jamz725Art.blogspot.com